jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Selasa, 29 Juni 2010

PKS pantas disebut : "Ini Baru PKS...!!!"

Fenomena Partai Keadilan Sejahtera

Penegasan itu memperkuat pernyataan yang disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Februari 2008, bahwa kelompok keagamaan yang berbenturan dengan pluralitas akan hancur. Karena itu, tidak mengherankan, meski dinamika politik selama empat minggu terakhir ini kumuh dan sarat dengan politik kepentingan serta gagasan sesat seperti dana aspirasi, keputusan Musyawarah Nasional II PKS sebagai partai terbuka menjadi memesona. Ibaratnya, ia melakukan salto mortal, loncatan berputar yang atraktif dan memukau publik.

Peneguhan itu adalah penampakan (fenomena) yang mengentak kesadaran publik, yang selama ini menganggap PKS sebagai partai yang militan, eksklusif, dan berpaham Islam konservatif, tegas menyatakan sebagai partai inklusif. Sedemikian kuatnya persepsi itu, meski tanda PKS sebagai partai terbuka sudah dilakukan sejak tahun 2000, banyak kalangan meragukan otentisitas niat itu. Afirmasi menjadi extraordinary event karena diputuskan dalam forum yang bobot politisnya tinggi. Karena itu, meski perubahan itu memicu kontroversi internal, tetapi tetap sarat makna. PKS sedang berjuang dan mengukir sejarah meninggalkan stigmatisasi sebagai partai kanan, eksklusif, dan ortodoks, menjadi partai modern, demokratis, dan progresif.

Sebagai simbol keterbukaan, PKS bahkan mengundang beberapa wakil dari negara Barat, seperti Jerman, Australia, dan Amerika Serikat, yang selama ini memiliki sikap dan pandangan yang berbeda mengenai isu yang menjadi kepedulian PKS, yaitu eksistensi negara Palestina. Bahkan, negara itu responsnya juga samar-samar terhadap serbuan Israel pada kapal Freedom Flotilla yang menuju Gaza dengan misi perdamaian.

Sikap itu juga menunjukkan PKS percaya diri dan bukan partai yang harus inferior terhadap negara adidaya. Memperjuangkan cita-cita melalui dialog langsung dalam suasana kesetaraan dan bermartabat menjadi strategi komplementer bersamaan dengan gelar pengerahan massa yang kadang-kadang diperlukan. Namun, strategi baru itu diduga tidak lagi terlalu menonjolkan simbol agama mengingat masalah Palestina bukan sekadar isu agama, melainkan lebih merupakan masalah politik kekuasaan.

Salah satu faktor obyektif yang mendorong tekad PKS menjadi partai tengah adalah kenyataan pluralitas masyarakat Indonesia merupakan rajangan garis silang-menyilang. Struktur masyarakat yang demikian tak memungkinkan terbelah dalam kelompok eksklusif secara permanen. Kesetiaan primordial saling memotong (cross cutting affiliation) memustahilkan garis primordial menjadi instrumen politik yang efektif. Susunan masyarakat semacam itu hanya mungkin terjadi dalam sebuah bangsa yang mempunyai modal sejarah yang sangat panjang, dan kemudian menghasilkan modal sosial bagi bangsa yang bersangkutan. Ikatan primordial semakin menjadi tidak relevan sebagai basis konstituensi partai politik. Sejarah telah membuktikan bahwa partai politik yang melulu mendasarkan diri pada solidaritas primordial semakin pudar pamornya.

Meski demikian, peneguhan PKS sebagai partai inklusif menghadapi setidak-tidaknya dua tantangan. Pertama, kemungkinan resistensi dari lingkaran dalam partai, terutama dari kalangan konservatif. Persoalannya sejauh mana paradigma baru dapat menyinergikan kalangan konservatif dengan mereka yang progresif mengingat Munas bahkan menegaskan kader non-Muslim juga punya kesempatan jadi petinggi partai, sama dengan mereka yang menempuh jalur kaderisasi keislaman. Tanpa kemampuan manajerial yang memadai serta komitmen yang tinggi, transformasi dikhawatirkan akan terjebak dalam pusaran konflik internal yang berlarut-larut. Tantangan ini memerlukan kematangan dan kenegarawanan tokoh PKS agar proses transformasi tidak justru menjadi bumerang.

Kedua, mengubah paradigma, pola, dan seleksi kader partai. Karakter inklusivitas mengharuskan PKS memproduksi kader kebangsaan yang mempunyai sikap dan perilaku yang selalu berorientasi untuk memperjuangkan kepentingan umum. Karena itu, sumber kader PKS harus mempunyai spektrum beragam. Selain harus ditempa dengan nilai yang berkaitan dengan kejujuran, kepedulian, etika politik yang santun sebagaimana citra yang ingin dibangun PKS selama ini, kader juga harus dibekali nilai islami yang universal sebagai roh dan acuan perjuangan bagi kader PKS.

Agenda ini juga merupakan jawaban strategis dan operasional bagi mereka yang meragukan komitmen PKS menjadi partai terbuka, dan menganggap transformasi hanya ditujukan untuk kepentingan jangka pendek: mencapai tiga besar dalam Pemilu 2014. Karena itu, ke depan, kader bukan hanya sebagai tokoh Islam (rijatul Islam) atau tokoh dakwah (rijatul dakwah), tetapi juga harus menjadi tokoh bangsa (rijatul ummah) atau menjadi negarawan (rijatul daulah).

Dengan semangat inklusivitas disertai pengembangan etika moral yang tinggi serta kualitas profesional dalam mengelola aspirasi masyarakat, tidak mustahil PKS bukan hanya dapat mencapai sasaran jangka pendek, melainkan juga menjadikan PKS baru. Bahkan lebih daripada itu, PKS pantas disebut: ini baru PKS.


Oleh: J. Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Source: Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar