jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Kamis, 29 April 2010

Dilema Angka Kemiskinan

Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo dalam acara musyawarah perencanaan pembangunan nasional (Musrenbangnas), Rabu (28/4) kemarin merasa keberatan warganya masih digolongkan miskin oleh pemerintah pusat. Menurutnya, kehidupan warga Jawa Tengah secara umum cukup sejahtera.

Keberatan itu disampaikan Bibit saat Wapres Boediono menyinggung angka kemiskinan 14 persen di tahun 2009, berikut upaya untuk menurunkannya sebesar 8 persen pada tahun 2014.

Bibit mengatakan, tahun 2009 lalu Jateng surplus beras hingga 2,8 juta ton, sehingga bisa menyangga ketahanan pangan nasional sebesar 15 persen. Pertumbuhan ekonomi Jateng juga naik menjadi 4,7 persen dengan inflasi 3,3 persen. Karena itu, Bibit mempertanyakan kriteria kemiskinan yang digunakan pemerintah pusat.

Debat mengenai angka kemiskinan biasanya menyangkut dua hal, yakni fakta kemiskinan itu sendiri dan kepentingan atas angka kemiskinan. Biasanya debat akan memuncak pada dua tataran, yakni tataran horizontal dan tataran vertikal.

Pada tataran horizontal, debat biasanya dipicu oleh klaim-klaim antarbeberapa pihak, demi kepentingan tertentu. Debat semacam ini pernah terjadi antara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wiranto saat bersaing menuju RI I dalam Pemilu lalu. Di satu sisi SBY menggunakan angka kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS), sementara di Wiranto menggunakan angka kemiskinan versi Bank Dunia.

Angka kemiskinan ternyata juga menyangkut prestise seorang penguasa. Ketika sebuah wilayah dikatakan punya angka kemiskinan tinggi, maka prestise penguasa dipertaruhkan. Sebagaimana yang terjadi pada Gubernur Jateng di atas.

Pada tataran vertikal, persoalan biasanya muncul tatkala angka kemiskinan dipertemukan dengan fakta kemiskinan di lapangan. Maka tak heran program BLT atau program-program sejenis lainnya sering menimbulkan keributan di tingkat lapangan. Di samping validitas data yang dipertanyakan, banyak orang yang memanipulasi kondisi ekonomi demi mendapatkan BLT.

Jika demikian, bisa jadi letak persoalannya ada di validitas data kemiskinan maupun persepsi atas kemiskinan itu sendiri. Tentu, ini menjadi PR bagi pemerintah untuk merumuskan standar kemiskinan yang benar-benar valid dan sesuai dengan fakta kemiskinan sampai di tingkat keluarga.

Validitas dan objektivitas data kemiskinan ini sangat penting. Pasalnya, siapa dapat menjamin di balik klaim angka kemiskinan yang rendah oleh penguasa, ternyata masih ada keluarga yang terlantar dan menderita? Apa boleh buat, inilah dilema angka kemiskinan dan fakta kemiskinan di negeri ini.


Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar