jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Senin, 08 Februari 2010

Kosmetik Politik SBY

Belakangan ini, publik ramai membicarakan seputar keluhan presiden SBY terhadap aksi demonstrasi pada momentum 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, tanggal 28 Januari 2010. Sebelumnya, SBY dibuat kebakaran jenggot oleh terbitnya buku Membongkar Gurita Cikeas (MGC) dan isu pemakzulan (impeachment) dari Pansus Century.

Namun, berbeda dengan keluhan-keluhan SBY dulu yang bernuansa politis, kali ini keluhan SBY sarat akan nilai-nilai etik. “Ada yang bawa kerbau, SBY badannya besar, malas dan bodoh seperti kerbau. Apa itu ekspresi kebebasan dan demokrasi. Juga foto yang diinjak-injak dan dibakar di mana-mana dan daerah lain,” demikian komentar kekesalan SBY menanggapi ulah demonstran (Kompas, 3/2/2010).

Di mata SBY, unjuk rasa dengan membawa kerbau ke istana sebagai simbol kegagalan pemerintah menjalankan program, selayaknya tidak terjadi. Sebab, itu bertentangan dengan norma ketimuran dan kesantunan demokrasi.

Pertanyaannya, standar etika seperti apa yang menjadi cara pandang SBY untuk menganalisis perilaku demonstran? Benarkah kritikan SBY itu untuk mempersantun wajah demokrasi di Indonesia dan membuat demonstran lebih sopan dalam menyampaikan aspirasinya? Sejauh mana fakta politik merangsang SBY berkomentar seperti itu?

Semua orang mungkin tahu, bahwa SBY merupakan salah satu figur yang lihai memoles citra. Bahkan, berbagai pengamat politik menilai, kunci sukses SBY merengkuh kursi kepresidenan untuk yang kedua kalinya, bukan hanya karena canggihnya marketing politik Demokrat, tapi juga dipengaruhi kecerdikan SBY menjaga wibawa di mata publik. Di tengah lemahnya kritik masyarakat dalam melihat figur dan tokoh bangsa, SBY sangat diuntungkan. Diuntungkan untuk mengamankan dan memuluskan kekuasaannya.

Namun yang perlu dicatat, kosmetik politik (politik pencitraan) sangatlah tidak berguna kalau digunakan secara berlebihan. Sama halnya dengan perempuan yang terlalu tebal menggunakan bedak misalnya, akan sangat tidak sedap dipandang mata.
Banyak kalangan menilai, reaksi SBY terhadap ulah demonstran yang mengidentikkan kerbau dengan dirinya merupakan bentuk melodramatik SBY. Mungkin, maksud SBY agar masyarakat paham bahwa dirinya di dholimi (dianiaya). Sehingga pada gilirannya masyarakat akan bersimpati terhadap SBY.

Namun, situasi kini sangat berbeda. Kalau dulu masa pencalonan (kampanye) presiden, SBY sangat diuntungkan karena diserang dan dihajar di sana-sini oleh rival politiknya dengan berbagai manuver. Ketika itu, masyarakat bersimpati karena ketegaran SBY dan kesantunan SBY menanggapi serangan lawan politiknya, yaitu ketika Jusuf Kalla dan Megawati sebagai kandidat Presiden.

Di tengah carut-marutnya kehidupan berbangsa yang ditandai dengan belum tuntasnya pengadilan hukum terhadap pelaku skandal Century, tidak memihaknya hukum terhadap kaum miskin dan maraknya praktek mafia hukum, sikap SBY menilai massa demonstran tidak santun, justru sangat kontradiktif. Sangat tidak etis juga SBY bilang demonstran tidak santun, sementara kebijakan-kebijakannya banyak yang tidak pro rakyat.

Lihat saja kebijakan menaikkan gaji pegawai pemerintah, kado mobil mewah harga miliaran untuk jajaran menteri dan anggota dewan, pagar istana negara yang direnovasi dengan biaya terlampau mahal dan yang terakhir rencana pembelian pesawat untuk presiden, sungguh sangat berbanding terbalik dengan kondisi objektif mayoritas rakyat Indonesia yang masih berada dibawa garis kemiskinan.

Dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya, SBY tergolong presiden yang banyak mengeluh. Untuk diurai satu per satu, rasanya terlalu panjang deretan keluhan SBY sepanjang mengomando jalannya pemerintahan ini. Dulu, masyarakat dibuat terharu oleh presiden karena isu terorisme. Presiden menggembor-gemborkan kepada rakyat bahwa dirinya menjadi target teroris. Dengan begitu meyakinkan, beliau menunjukkan ke media massa fotonya, yang katanya jadi objek tembakan teroris. Nyatanya, sampai sekarang beliau masih hidup, masih memimpin bangsa ini, bahkan dua periode. Satu spekulasi SBY terbantahkan.

SBY juga pernah mengeluh terkait fitnah LSM Bendera yang membongkar serta menunjukkan ke media massa terkait kecurangan-kecurangan dana siluman kampanye partai Demokrat. Dalam berbagai momen, salah satunya Hardiknas, SBY begitu antusiasnya meyakinkan guru-guru bahwa isu itu fitnah dan fitnah.

Belum cukup mengeluh, SBY lagi-lagi mengeluh terkait launching-nya buku Membongkar Gurita Cikeas. Buku itu membuat SBY kebakaran jenggot karena penulisnya, George Junus Aditjondro, mengungkap praktik KKN keluarga Cikeas. Buku itu juga memuat peran Yayasan-yayasan yang dananya sebagian diambil dari APBN dalam menyukseskan SBY sebagai presiden. Begitu, terganggunya dengan buku itu SBY sempat melarang peredarannya. Biar lebih elegan, akhirnya SBY membuat buku tandingan Cikeas Menjawab.

Nah, dalam konteks kritikan SBY terhadap demonstran dengan dalih kesantunan dan kesopanan, saya khawatir jangan-jangan hanya apologi saja. Muaranya satu, yaitu merebut simpati publik.

Dalam tataran etik pun, kritikan SBY terhadap demonstran membutuhkan catatan lebih lanjut. Standar etika seperti apa yang menjadi cara pandang SBY untuk menganalisis perilaku demonstran. Bukankah setiap golongan, kelompok, bahkan individu memiliki cara dan rujukan sendiri untuk mensimbolisasikan sebuah realitas? Kerbau yang ditafsirkan negatif oleh SBY, ternyata tidak selamanya benar. Kerbau dalam ajaran tertentu sangat dimuliakan, kerbau adalah hewan pekerja keras, membantu petani membajak sawah tanpa kenal lelah. Bukankah berkorban demi orang lain yang terpatri dalam semangat kerbau layak dijadikan spirit bagi setiap pemimpin, termasuk SBY? Jangan-jangan spirit itu yang dibawa oleh demonstran lewat kerbaunya?

Biarkan konsolidasi demokrasi menemukan wujudnya di Indonesia. Standar norma-norma dalam berdemonstrasi tidak terlalu penting, sepanjang tidak mengganggu ketenangan umum. Pemaksaan adanya standar nilai (pranata sosial) hanya akan memasung kebebasan berpendapat dan menyampaikan aspirasi. Orde reformasi yang memakan tumbal ribuan manusia untuk membuka kran demokratisasi di Indonesia, akan sia-sia kalau pemimpin sekarang perlahan-lahan mengekang spirit demokrasi dengan dalih kesantunan dan kesopanan.


Oleh:
Abdul Khalid Boyan, Pengamat sosial politik, tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar