Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu bersaudara. Bahkan keduanya merupakan saudara kembar yang lahir dari ibu kandung yang sama, yaitu rakyat. Keduanya berhubungan dan harus berhubungan sesuai dengan fungsi masing-masing. Presiden tanpa DPR akan menjadi otoriter, DPR tanpa presiden laksana pohon tanpa buah atau dengan kata lain bagaikan ilmu tanpa amal. Rakyat memerlukan presiden untuk menjalankan pemerintahan negara, dan rakyat membutuhkan DPR untuk mengawasi jalannya pemerintahan tersebut. Presiden disebut eksekutif (dari kata to execute), bahkan eksekutif par excellence, yang berwenang menjalankan (pemerintahan) untuk mengeksekusi apa yang ditetapkan undang-undang.
Sementara DPR disebut legislatif karena DPR-lah yang menjalankan fungsi legislasi, di samping fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan. Dalam menjalankan fungsi legislasi, DPR adalah pembentuk undang-undang (lawmaker), bahkan pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang. Rancangan Undang-Undang (RUU) baik yang datang dari DPR maupun yang diajukan presiden, dibahas bersama-sama antara DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
DPR menjalankan tugas dan kewenangannya berdasarkan UU, demikian juga presiden. Memang benar sejatinya UUD 1945, apalagi setelah amendemen, menganut sistem presidensial. Di antara ciri sistem presidensial adalah adanya periode masa jabatan presiden yang pasti (fixed term), yakni lima tahun.
Presiden tidak dapat dimakzulkan dalam masa jabatannya, kecuali melanggar hal-hal yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 7A yang berbunyi: “Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.”
DPR “hanya” bisa berpendapat sesuai dengan hak menyatakan pendapat yang dimilikinya, bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan tindak pidana berat lain atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden tersebut (lihat Pasal 7B ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 UUD 1945). Adapun pemeriksaan, penyelidikan, dan keputusan atas pendapat DPR tersebut menjadi wewenang sepenuhnya Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan hukum acara di sana. Bahkan lebih jauh dari itu, ketika seandainya MK telah membuktikan kebenaran pendapat DPR sekalipun, dan DPR mengajukan usulan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan presiden/wakil presiden, MPR dapat saja tidak memberhentikannya.
Sebab, presiden/wakil presiden masih juga diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan atas keputusan MK yang menyatakan presiden telah terbukti bersalah. Penjelasan presiden/wakil presiden tersebut toh bisa saja diterima oleh MPR. Walhasil, dalam UUD 1945 sekarang ini kedudukan presiden secara politik sangatlah kuat. Pintu pemakzulan (impeachment) memang ada, tetapi jalannya sangat panjang dan berliku serta pintunya sangat kecil.
Tidak Lebih Tinggi
Sementara setelah amandemen, pemakzulan presiden/wakil presiden merupakan perpaduan atau gabungan antara proses politik dan proses hukum. Pemakzulan bukan lagi hanya menjadi urusan DPR dan MPR, melainkan juga memutlakkan peran dan wewenang MK. Bahkan menurut penafsiran penulis, MK-lah yang lebih menentukan secara signifikan: satu-satunya lembaga negara yang berhak memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR mengenai pelanggaran tersebut di atas itu.
Jadi dalam sistem presidensial, DPR tidak bisa menjatuhkan presiden, kecuali presiden sendiri yang menjatuhkan dirinya sendiri melalui tindak pelanggaran hukum, perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden. Sebaliknya, presiden tidak bisa membubarkan DPR. Keduanya tidak lebih tinggi atau lebih rendah satu sama lain, dan hanya bisa dibedakan dari perspektif fungsi dan kewenangannya.
Hubungan antara keduanya tidak didesain dalam pola koalisi atau oposisi, melainkan lebih dalam relasi checks and balances. Dalam hal legislasi, DPR tidak boleh menerima atau menolak RUU secara apriori yang diajukan pemerintah; dalam fungsi anggaran DPR tidak dibenarkan menerima atau menolak secara arbitrer RAPBN yang diajukan presiden, dan dalam bidang pengawasan DPR tidak boleh secara apriori menutup mata terhadap apa yang dilakukan presiden/pemerintah. Hatta ketika presiden tersebut datang dari partai politik yang sama! Kriteria penerimaan atau penolakan DPR hanyalah satu: berpihak kepada kepentingan rakyat ataukah tidak!
Di sini tidak ada kriterium koalisi atau oposisi. Memang ada pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang dimanifestasikan dalam lembaga-lembaga negara yang juga berfungsi mengontrol kekuasaannya melalui mekanisme checks and balances, tetapi presiden sebagai kepala pemerintahan adalah satu-satunya yang berwenang melakukan eksekusi (to excecute). (oke)
Penulis adalah Wakil Ketua MPR
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar