jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Minggu, 28 Februari 2010

Mewaspadai Politik Transaksional

Ditundanya Pilkada Kota Pekalongan, Jawa Tengah karena problem calon tunggal walikota/wakil walikota menjadi fenomena politik yang menarik untuk dicermati. Adalah Basyir Achmad dan Abu Almafakhir, pasangan incumbent yang resmi terdaftar sebagai pasangan calon dan siap berlaga. Namun lawan politik punya strategi politik berbeda dengan tidak mengusung pasangan calonnya. Konsekuensinya, Pilkada Kota Pekalongan harus dijadwal ulang karena Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 Pasal 50 ayat (1) dan (2) tidak membuka celah adanya calon tunggal. Lawan politik incumbent dengan cerdik memainkan politik bubar siji bubar kabeh.

Lalu, mengapa parpol sengaja tidak memunculkan pasangan calonnya? Bukankah tanggung jawab parpol mempersiapkan, memunculkan dan mengusung kader-kadernya untuk bertarung dalam Pilkada guna meraih kekuasaan politik formal? Atau ini adalah permainan politik untuk meningkatkan posisi dan penawaran harga. Dugaan ini wajar, mengingat iklim politik transaksional masih kental mewarnai percaturan politik kita.

Sejauh mana parpol memperhatikan moralitas politik sehingga tidak mengingkari hati nurani rakyat? Ini terkait erat dengan pertimbangan untung rugi yang ditanggung oleh masyarakat. Misalnya anggaran negara membengkak untuk membiayai molornya Pilkada, serta semakin apatisnya masyarakat terhadap parpol maupun Pilkada itu sendiri yang berimbas pada menurunnya partisipasi politik masyarakat.


Menguatnya Politik Transaksional

Politik transaksional adalah politik pertukaran atau politik dagang. Siapa memperoleh apa dan yang lain dapat apa. Liberalisasi politik yang luar biasa di Indonesia menumbuhsuburkan praktik politik ini. Model politik ini cenderung berakhir dengan kompromi atau akomodasi kepentingan elite-elite politik.

Ada tiga hal yang berpotensi menjadi objek kepentingan elite-elite partai politik. Pertama, penjaringan bakal calon walikota/wakil walikota atau konvensi. Biasanya partai politik yang kuat mensyaratkan uba rampai berupa deposit sekian juta rupiah dari para tokoh yang mengikuti penjaringan atau konvensi. Biaya tersebut di luar biaya kampanye apabila tokoh tersebut menjadi calon jadi.

Kedua, partai politik/gabungan partai politik menjadi kendaraan sewa bagi pasangan calon. Istilah “kendaraan sewa” ini lebih dimaksudkan bagi tokoh-tokoh luar pagar (bukan kader partai/gabungan partai) . Keengganan partai politik untuk mengusung kader-kadernya sendiri kurang lebih didasarkan pada pertimbangan realistis. Kekuatan modal atau dana menjadi tolok ukurnya.

Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pasal 50 ayat (1) dan (2) tidak mengakomodasi adanya calon tunggal. Ini menjadi celah baru bagi para elite parpol untuk bermain aman sekaligus memantapkan posisi tawar terhadap calon kuat/incumbent. Masalahnya bukan menang atau kalah secara bermartabat, melainkan tidak masalah kalau kalah asal masing-masing mendapat jatah. Kemenangan atau kekalahan sudah menjadi bagian dari permainan politik transaksional.

Problematika Calon Tunggal

Ada tiga problem mendasar baik secara politik maupun hukum yang berimplikasi pada pengebirian hak dan kedaulatan rakyat. Pertama, fenomena penundaan Pilkada di Kota Pekalongan bukan karena ketidakmampuan partai-partai politik di luar Partai Golkar untuk mengusung calonnya sendiri. Bukan pula karena faktor-faktor represi politik, intimidasi maupun iklim monolitik dan antidemokrasi seperti lazimnya pada zaman Orde Baru. Demokrasi semata-mata dianggap sebagai kebebasan mengeksplorasi berbagi kemungkinan untuk mentransaksikan kepentingan politik mereka.

Kedua, pasangan incumbent yang menorehkan prestasi cemerlang dalam kerja dan kepemimpinan perlu mewaspadai fenomena ini sejak dini. Bisa jadi politik calon tunggal di Kota Pekalongan menjadi modus operandi baru bagi lawan-lawan politik di daerah-daerah lainnya untuk menaikkan posisi tawar mereka. Ironis memang, dalam sistem politik yang terlalu liberal ini, menjadi incumbent yang berprestasi dalam kerja dan kepemimpinan justru dihadapkan pada dilema calon tunggal dan kompromi berbiaya tinggi.

Ketiga, ketidakmungkinan calon tunggal dalam Pilkada membuka peluang lebar bagi kompromi politik yang berujung pada pemberian konsesi ataupun bagian kekuasaan kepada lawan politik. Dalam iklim politik transaksional, besaran angkalah yang lazimnya berbicara. Bagaimana jika kompromi politik menemui jalan buntu?

Komunikasi Politik

Komunikasi politik cenderung menjadi bahasa kepentingan semata. Apabila kompromi tidak tercapai dan berakibat pada penundaan Pilkada, kedaulatan rakyatlah yang dikorbankan. Komunikasi politik merupakan prasyarat mutlak bagi entitas politik untuk menegosiasikan kepentingan politiknya. Dengan kecenderungan umum parpol-parpol yang tidak lagi menonjolkan ideologi maupun program-program partai, melainkan berkutat pada cara mendapat bagian kue kekuasaan, komunikasi politik memang sangat dimungkinkan.

Bila komunikasi politik menemui jalan buntu, terobosan hukum menjadi pilihan. Permohonan Uji Material terhadap PP Nomor 6 Tahun 2005 pasal 50 ke Mahkamah Konstitusi menjadi solusi alternatif. Siapa tahu pencalonan tunggal dalam Pilkada dimungkinkan, di mana pasangan calon akan dilawankan dengan kotak kosong seperti yang biasa terjadi dalam pemilihan kepala desa. Tentu saja ada berbagai kemungkinan solusi alternatif. Namun, semangatnya ialah untuk mengurai kebuntuan politik sekaligus mempersempit ruang bagi tumbuh suburnya politik transaksional.

Liberalisasi politik efektif membuka ruang ekspresi, apresiasi dan aktualisasi masyarakat sipil dan partai-partai politik untuk memperjuangkan kepentingannya. Sayangnya, kebebasan politik ini tidak lantas mendorong partai-partai politik untuk lebih mengakarkan nilai-nilai ideologinya sekaligus mengkontekstualkan nilai tersebut dalam program-program kerja yang rasional, sistematis, terencana dan terukur secara objektif, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Yang terjadi malah sebaliknya, partai politik menjadi wahana politik efektif bagi para elitenya untuk memperoleh akses kekuasaan dan keuangan.

Problem komodifikasi politik calon tunggal dalam Pilkada menjadi kritik untuk partai politik. Kritik ini mengajak parpol kembali pada fitrahnya menjadi organisasi perjuangan yang berlandaskan pada visi, misi, tujuan, program kerja, strategi dan taktik yang kontekstual sesuai dengan permasalahan zamannya. Dengan kembali pada jati dirinya, partai politik akan mampu keluar dari jerat politik transaksional.


Oleh: Guntur Wahyu Nugroho, Pemerhati masalah sosial politik di Solo, mantan Ketua PMKRI Cabang Surakarta
Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar