JAKARTA, KOMPAS.com. Pulang dari lawatan pertemuan APEC di Singapura, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan "dihadiahi" laporan kerja Tim Delapan yang dibentuknya untuk memverifikasi fakta atas kasus dua pimpinan KPK (nonaktif), Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Sikap Presiden terhadap rekomendasi itu sangat dinantikan. Kabarnya, rekomendasi juga berisi mengenai reposisi dan reformasi di lembaga penegakan hukum.
Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil mengatakan, tak ada pilihan lain bagi Presiden selain menerima rekomendasi tersebut. "Presiden memang punya hak untuk menerima atau menolak rekomendasi Tim Delapan. Tapi kedua pilihan itu ada konsekuensinya," kata Nasir, anggota Fraksi PKS, kepada Kompas.com, Senin (16/11).
Jika menolak atau tidak menindaklanjuti isi rekomendasi, menurut Nasir, Presiden sudah "menampar" wajahnya sendiri. "Iya dong, kan tim itu dibentuk Presiden, sudah bekerja kok malah dicuekin hasilnya," kata dia.
Jika menerima maka hal utama yang harus dilakukan oleh Presiden adalah menindaklanjuti dengan melakukan pembenahan tiga institusi penegak hukum di Indonesia. "Artinya, Presiden harus mempercepat reformasi di Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK. Bagaimanapun juga, lembaga-lembaga itu dihuni oleh manusia, bukan malaikat. Dan menurut saya, tidak ada jalan lain bagi Presiden selain menerima rekomendasi tersebut," ujar Nasir.
Ia mengingatkan, pengabaian atas rekomendasi Tim Delapan akan berimbas pada melunturnya kepercayaan masyarakat pada pemerintahan SBY-Boediono. Akhirnya, persaingan antara lembaga penegakan hukum dikhawatirkan semakin meruncing.
"Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden harus menerima rekomendasi dengan lapang dada, termasuk jika harus ada yang dipertanggungjawabkan secara hukum," katanya.
Persoalan yang sudah demikian jauh membutuhkan penyelesaian oleh Presiden. "Bagaimanapun, setelah rekomendasi diserahkan, 'bola' ada di tangan Presiden. Mau dilempar ke mana lagi?" ujar Nasir retoris.
Sumber: Kompas Cyber Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar