jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Kamis, 12 Februari 2009

Tugas Sepatu

Yang dialami George W. Bush di Baghdad dalam konferensi pers pamitan kepada rakyat Irak, pekan lalu, memperjelas tugas sepatu. Juga memperluas wawasan masyarakat dunia tentang multifungsi benda bernama sepatu.

Bush telah berjasa melakukan banyak hal di level dunia, langkah raksasa peradaban dan kemanusiaan, terbukti mengangkat derajat sepatu ke tingkat lebih tinggi. Mantan Presiden Amerika Serikat itu bahkan tidak menyadari betapa tinggi prestasinya. Sehingga tatkala sepatu melompat naik derajat, beliau spontan menggerakkan kepalanya ke samping untuk menghindarinya.

Anak turun Nabi Sulaiman yang mampu mendengarkan suara binatang dan isi hati benda-benda melihat kelemahan Bush, yang tradisi hidupnya terlalu intelektual dan materialistik --sehingga tidak memiliki naluri untuk mengakomodasi hajat moral sang sepatu, yang sesungguhnya ingin mencium wajahnya dalam rangka mengungkapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepadanya.

Hampir 60 tahun saya menghabiskan waktu tanpa pernah sanggup mengambil keputusan rasional tentang makna sepatu. Sepatu selalu membingungkan saya. Semua kawan saya tahu bahwa belum tentu lima tahun sekali kaki saya bersepatu. Ke kantor tertinggi negara pun saya pakai sandal, karena saya tidak pernah berani memakai sesuatu yang saya tidak benar-benar mengenalinya.

Di masa remaja, ketika pertama saya bersekolah di kota, Pak Guru bilang, "Pakailah sepatu. Bukan sekadar untuk mematuhi peraturan sekolah. Tapi karena sepatu melindungi kakimu dari kotoran, duri, dan barang tajam lainnya." Tapi kalimat berikutnya membingungkan saya: "Sebelum pakai sepatu, pakailah kaus kaki."

"Gunanya untuk apa?" saya bertanya. "Untuk melindungi kakimu dari sepatu," kata Pak Guru. Katanya, kalau kaki saya langsung bergesekan dengan sepatu, bisa luka. "Jadi", saya bertanya lagi, "sepatu itu sebenarnya melindungi atau mengancam kaki saya?"

Pak Guru hanya tersenyum, dan sampai setua ini saya belum pernah memperoleh jawaban: apakah sepatu itu melindungi atau mengancam. Dan terus terang, saya menikmati tiadanya jawaban itu. Sebab ternyata dalam kehidupan ini banyak "sepatu", misalnya pemerintah, negara, lembaga agama, modal, industri, kemajuan, orde-orde, reformasi, demokrasi, organisasi-organisasi, parpol, pemilu pilkada, kelompok, mazhab, dan pengajian.

Serta seribu "makhluk" lain yang hakikatnya persis sepatu: seolah-olah melindungi, tapi ternyata mengancam. Bisa juga kalimat itu disimulasikan: meskipun tampaknya mengancam, sesungguhnya ia melindungi. Terserah Anda.

Sampai akhirnya Bush datang membawa wisdom tentang sepatu. Kebijaksanaan atau kearifan adalah sublimasi dari peta segala ilmu dan pengalaman menjadi suatu tetesan makna. Entah apa muatan hati Bush pada saat ini tentang sepatu. Terserah dia mengambil dari sisi makna yang mana.

Rasulullah Muhammad SAW dilempar dengan batu sampai terluka jidat beliau, bahkan diusir, tatkala berhijrah memasuki Thaif. Beliau tidak marah, tidak membalas, bahkan sowan kepada Allah dan mengucapkan kalimat yang sama dengan Yesus: "Ya, Tuhan, ampunilah kaumku karena mereka tidak mengerti apa yang mereka lakukan."

Saya tidak membayangkan Bush mengucapkan hal yang sama. Bukan hanya karena konteks persoalannya lain sama sekali. Melainkan juga karena Bush adalah penguasa tertinggi sebuah negara adikuasa. Berbeda dari Muhammad dan Yesus yang bukan presiden, bukan raja, dan bukan penguasa. Muhammad memilih menjadi 'abdan nabiyya: nabi yang rakyat jelata, menolak jadi mulkan nabiyya, nabi yang raja. Juga sangat berbeda peta psikologi antara yang disalib dan yang kesukaannya menyalib.

Bush seorang pemberani. Di Baghdad, ia dipertemukan dengan pemberani yang lain. Semakin modern, semakin pengecut manusia. Semakin rendah pangkat prajurit, semakin panjang tombaknya. Semakin tinggi kependekaran seseorang, semakin pendek senjatanya. Pendekar berani berantem tanpa senjata karena tangannya bisa menjadi senjata melebihi berbagai jenis senjata.

Teknologi modern menyediakan sangat banyak fasilitas untuk kepengecutan. Kita bisa menghindari pertarungan face to face. Bisa melempar rudal dari jarak sangat jauh, bisa menyerang orang tanpa menampakkan wajah. Bisa menulis apa saja di dunia maya tanpa identitas orisinal.

Itu semua kita perlukan dan kita legalisasi dengan pendapat bahwa tradisi carok Madura adalah budaya primitif. Maka, wartawan pelempar sepatu di Baghdad itu sungguh seorang pemberani, seorang yang bermental carok.

Suatu malam di panggung lapangan Kemang Pratama bersama KiaiKanjeng, seorang hadirin melempar sandal ke arah wakil bupati yang duduk di panggung di samping saya. Persis seperti di Baghdad, dua sandal dilemparkan berurutan.

Beberapa detik sebelum jajaran keamanan meringkus si pelempar, prajurit KiaiKanjeng meloncat turun, mengepung mahasiswa pelempar sandal itu, untuk menghindari kemungkinan ia "dihabisi" serta agar kemudian segala sesuatu bisa di-tabayyun-kan di sebuah ruangan.

Saya rangkul sang wakil bupati: "Itulah sebabnya, bapak sampeyan memberi nama Mukhtar yang artinya terpilih. Malam ini, sampeyan terpilih menjadi pemimpin yang paling beruntung. Sangat jarang di muka bumi ini ada pemimpin yang dibukakan kepadanya apa isi hati rakyatnya secara sangat murni dan transparan".

Emha Ainun Nadjib
Budayawan
[Kolom, Gatra Nomor 6 Beredar Kamis, 6 Desember 2008]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar