jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Selasa, 05 Juli 2011

Mabit Kasepuhan

Mabit (bermalam bersama) adalah salah satu sarana pembinaan dan penempaan jiwa bagi para aktivis dakwah. Mabit sering juga dibuat kepanjangannya dengan Malam Bina Iman dan Takwa, karena program Mabit memang berorientasi menjaga, meningkatkan iman serta takwa bagi para aktivis.Senang sekali mengikuti “Mabit Kasepuhan” di kompleks Masjid Abubakar Yogyakarta, Ahad 26 Juni 2011. Istilah “kasepuhan” itu khas Yogyakarta, yang digunakan untuk menyebut para senior, atau orang-orang tua atau orang yang dituakan dalam dakwah. Ada berbagai program khusus untuk para kasepuhan ini, seperti Nadwah Kasepuhan, Mukhayam Kasepuhan, Rihlah Kasepuhan serta Mabit Kasepuhan.

Kami mulai berkumpul jam 17.00 wib, mengisi lembar presensi dan langsung memasuki ruangan kegiatan. Tepat jam 17.15 kami mengawali program dengan membaca doa ma’tsurat kubra bersama-sama. Selesai membaca doa ma’tsurat, sudah terdengar adzan Maghrib. Segera kami menuju masjid Abubakar dan menunaikan shalat berjama’ah. Usai shalat Maghrib, kami kembali menuju ruang kegiatan untuk menikmati makan malam dengan menu bebek goreng mbah Wongso Rejo. Alhamdulillah, kenyang.

Sambil menunggu shalat Isya kami duduk berkelompok untuk tilawah Al Qur’an. Kami membaca Al Qur’an hingga tiba waktu shalat Isya, dan saat terdengar adzan kembali kami ke masjid untuk menunaikan shalat Isya berjamaah. Nikmat sekali rasanya, melaksanakan shalat berjamaah bersama para kasepuhan. Suasana yang sangat langka dan jarang ada, karena saking sibuk dan padatnya aktivitas para kasepuhan, sehingga jarang bertemu dan berkegiatan bersama.

Usia shalat Isya kami kembali ke ruang kegiatan. Berikutnya kami mendengarkan tausiyah dari seorang senior, akhuna Dr. Sukamta tentang beberapa persoalan dalam dakwah. Beliau mengajak agar para aktivis selalu berbenah, dan selalu meningkatkan kesiap-siagaan dalam menjalankan berbagai amanah dakwah. Berbagai persoalan yang dihadapi para aktivis harus mendapatkan perhatian serius untuk dicarikan jalan keluar. Jangan sampai menjadi kendala dalam menunaikan program dakwah.

Acara tausiyah berikutnya disampaikan oleh seorang senior pula, akhuna Muhammad Haris Widodo, yang belum lama terpilih menjadi Wakil Walikota Salatiga periode 2011 – 2016. Pak Haris mengaku sangat senang bisa hadir di forum Kasepuhan Yogyakarta, setelah meninggalkan Yogyakarta tahun 1998 untuk menetap di wilayah kabupaten Semarang hingga sekarang.

Pak Haris menyampaikan kegelisahan terhadap fenomena kekaderan saat ini, yang sangat berbeda dengan idealita yang dibangun duapuluhan tahun yang lalu. Sekitar tahun 1987 saat mulai melakukan aktivitas dakwah dan tarbiyah di Yogyakarta, para aktivis yang masih muda belia usianya memiliki mimpi yang besar untuk masa depan dakwah yang ingin diraih. Namun duapuluh tahun berjalan, ternyata mimpi-mimpi itu tak semudah yang dibayangkan untuk mencapainya.

Beliau menyampaikan ada enam hal yang menjadi penyebab tidak terwujudnya mimpi-mimpi indah itu.

Pertama, terjadi perubahan cara pandang terhadap kehidupan pada beberapa kalangan senior. Dulu para aktivis di masa mudanya mengalami kehidupan yang sulit, karena menjalani berbagai aktivitas dakwah sambil menyelesaikan kuliah. Tidak ada aktivis yang memiliki kecukupan materi pada waktu itu. Semua hidup serba “minimalis” dan bahkan banyak yang kekurangan. Tidak ada aktivis yang hidup mapan, semua berada dalam kondisi sangat pas-pasan, atau bahkan di bawah standar kelayakan.

Setelah para aktivis sekarang relatif mulai merasakan kemapanan, beberapa di antara mereka cara pandangnya terhadap hidup dan kehidupan mengalami pergeseran. Mereka tidak ingin melihat anaknya berada dalam kesulitan dan kekurangan. “Jangan sampai miskin dan sulit seperti orang tuanya dulu saat muda. Biarlah orang tuanya saja yang menderita, anak-anak sekarang harus lebih baik kondisinya”. Prinsip dan pikiran seperti ini membuat ada sangat banyak permaafan dan permakluman terhadap kondisi anak-anak.

Namun uniknya, anak-anak yang cenderung mendapat fasilitas lebih baik dibanding generasi orang tuanya, ternyata tidak menampakkan semangat perjuangan sebagaimana dimiliki generasi terdahulu. Dahulu orang tuanya tidak bisa berbahasa Arab, ternyata anaknya pun juga tidak bisa berbahasa Arab. Dahulu orang tuanya ingin melahirkan generasi pejuang yang meneruskan jalan dakwah, namun ternyata anak-anak sekarang banyak yang lebih mengenal Justin Bieber daripada Hasan Al Banna.

Kedua, proses dakwah sekolah yang cenderung stagnan. Di banyak daerah, dakwah sekolah yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun, tidak menampakkan perkembangan dan kemajuan yang berarti. Dalam perspektif ideal, maraknya proses dakwah di sekolah diharapkan memberikan kontribusi positif untuk mencetak generasi penerus yang berkualitas. Di rumah, anak-anak telah mendapatkan sentuhan pembinaan dari orang tua yang sangat serius menyiapkan generasi baru. Dengan tambahan lingkungan yang kondusif di sekolah, harapannya akan mempercepat proses internalisasi nilai-nilai kejuangan dalam diri anak.

Namun kenyataannya masih jauh panggang dari api. Dakwah sekolah yang diharapkan mempercepat proses regenerasi sejak dari usia sekolah, di banyak tempat belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Ini menjadi salah satu bagian dari penjelasan mengapa idealita tentang generasi baru yang diimpikan duapuluh tahun yang lalu itu, belum bisa maujud secara utuh. Hanya maujud pada beberapa gelintir anak-anak, namun belum menjadi produk dari sebuah sistem perjuangan.

Ketiga, perkembangan kondisi anak-anak kader jauh lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan elemen dakwah untuk menghadirkan sistem pembinaan yang tepat bagi usia mereka. Ternyata interaksi anak-anak dengan perkembangan zaman sangat cepat. Identifikasi diri anak-anak pada usianya saat mulai menginjak remaja, telah menyebabkan dirinya berkembang ke sebuah arah yang belum tentu sesuai keinginan generasi pendahulu. Sayangnya, sistem pembinaan kita belum cukup sigap merespon dan mengantisipasi perkembangan tersebut.

Anak-anak sedang mencoba mengidentifikasi diri di usianya yang sedang tumbuh, memerlukan sentuhan yang tepat sesuai logika usia tersebut. Masih jarang dijumpai aktivitas pembinaan yang cocok dengan karakter remaja, dimana anak-anak remaja akan merasa enjoy dan nyaman berada dalam milieu yang disiapkan bagi mereka. Justru beberapa fenomena menunjukkan adanya pemberontakan anak-anak yang tidak ingin “menjadi seperti|” orang tuanya.

Keempat, pengaruh lingkungan sekitar. Setiap anak memiliki lingkungan pergaulan baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosial keseharian. Pengaruh lingkungan ini menjadi sangat besar dampaknya pada anak-anak yang menginjak usia remaja. Sejak dari cara berpikir, cara berpenampilan, model pergaulan, hingga tokoh-tokoh idola, sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar mereka.

Anak-anak tidak bisa dididik secara eksklusif, dengan jalan dipisahkan dari lingkungannya. Karena eksklusifitas itu sesuatu yang semu, realitas yang ada adalah masyarakat yang kita hadapi setiap hari ini. Oleh karena itu diperlukan suatu lingkungan yang kondusif untuk membentuk karakter dan kepribadian mereka, agar tidak mudah larut dan terpengaruh oleh tradisi yang negatif dan menyimpang dari kebaikan.

Kelima, pengaruh globalisasi dunia. Luar biasa dahsyat pengaruh globalisasi. Kenyataannya globalisasi telah mempengaruhi semua orang, suka atau tidak suka. Berbagai kemajuan teknologi telah dengan sangat mudah diakses oleh anak-anak kita, melalui handphone, komputer, internet, dan berbagai sarana lainnya. Dengan mudah anak-anak kita mengerti berbagai informasi tanpa batas, dan membawa mereka ke dalam suasana global.

Jika orang tua tidak waspada menghadapi pengaruh globalisasi, akan bisa sangat tertinggal oleh pemikiran anak-anak remaja. Mereka telah mengerti berbagai peristiwa di berbagai dunia, dan orang tua yang gagap teknologi akan berada dalam situasi sangat tertinggal dan sangat miskin informasi. Sepertinya orang tua menjadi sangat kuno dan kolot karena tidak mengetahui perkembangan terkini.

Keenam, pengaruh syi’ar infitahiyah. Pada saat dakwah berada dalam mihwar publik, seruan yang sering dikumandangkan adalah agar kader bersikap inklusif, bukan eksklusif. Kader harus membaur dengan realitas kehidupan masyarakat dan tidak membuat sekat-sekat eksklusivitas. Seruan seperti ini membuat semua kader berusaha semaksimal mungkin beradaptasi dengan kehidupan masyarakat sekitar, yang bukan tidak mungkin akan mendapatkan pengaruh dari corak yang berkembang di tengah masyarakat.

Beberapa kegelisahan di atas diungkapkan dengan sangat mengalir oleh pak Haris, yang melontarkan enam poin tersebut sebagai bahan renungan, bahan koreksi, dan bahan evaluasi bagi para kasepuhan. Satu jam lebih sedikit beliau memberikan tausiyah yang sangat menyentuh dan sekaligus memberikan PR bagi para kasepuhan untuk merenungi lebih jauh, mengevaluasi lebih detail dan tentu saja merumuskan solusi terbaik.

Pak Haris bahkan memberikan gambaran, betapa keluarga Soekarno berhasil mencetak generasi yang sangat percaya diri dan bangga mengatakan bahwa dirinya adalah penerus perjuangan Soekarno. Hal ini tidak tampak pada banyak tokoh yang satu generasi dengan Soekarno. Mana tokoh-tokoh muda yang menyatakan dengan bangga, “Saya meneruskan perjuangan bapak saya” ? Apakah anak-anak kita bangga dengan perjuangan orang tuanya, atau justru mereka alergi dan tidak mau mengikuti jejak orang tua ?

Sebuah perenungan yang sangat dalam dan kontemplatif.

Usai mendengarkan rangkaian tausiyah, kami beristirahat dan bersantai sejenak dengan obrolan segar sesama orang tua. Subhanallah, suasana yang sangat damai dan nyaman. Para kasepuhan bisa duduk bersama, lesehan di atas tikar, sambil bercanda dan tertawa bersama. “Harga” suasana seperti ini sangatlah mahal, karena banyak contoh generasi awal dakwah di suatu wilayah yang sudah tidak nyaman duduk bersama dan bercanda mesra. Mereka terlibat konflik kepentingan yang membuat suasana tidak nyaman untuk duduk santai bersama. Bahkan sudah tidak bisa tertawa bersama.

Jam sepuluh malam kami tidur di atas tikar, berjajar-jajar dalam satu ruangan. Enampuluh orang kasepuhan tidur bersama malam hari itu. Luar biasa, alangkah damainya. Sejuk sekali terasa di hati. Jika kebersamaan seperti ini terus kami miliki, niscaya dakwah akan mudah berkembang dan kader dakwah akan semakin solid. Jika para kasepuhan sudah tidak bisa duduk bersama dalam satu majelis, tidak bisa bercanda, tidak bisa tertawa bersama, maka soliditas dakwah akan mudah goyah, dan dakwah terancam stagnan bahkan bisa mengalami kemunduran.

Saya sangat menikmati mabit ini. Kami bangun jam dua malam untuk melaksanakan shalat malam. Khusyu sekali suasana shalat malam kami. Jam setengah empat, usai shalat malam kami makan sahur bersama. Esok pagi kami akan melaksanakan puasa sunnah di hari Senin, bagian dari puasa sunnah Senin Kamis. Nikmat sekali suasananya. Para kasepuhan makan sahur dengan nasi bungkus dan teh panas buatan bu Endang Tri Sukowati. Kami duduk lesehan sembari menikmati makan sahur, hingga tiba adzan Subuh.

Bergegas kami ke masjid menunaikan shalat Subuh berjamaah. Usai shalat Subuh, kami kembali ke ruangan kegiatan untuk membaca doa ma’tsurat kubra bersama-sama. Alhamdulillah, akhirnya acara mabit kasepuhan pun usai. Diawali dengan ma’tsurat kubra, dan ditutup dengan ma’tsurat kubra. Kami saling bersalaman, dan membereskan ruang kegiatan.

Setelah itu kami pulang, dengan membawa berbagai kesan yang nyaman kami rasakan. Perjalanan dakwah masih sangat panjang. Jalan masih sangat panjang terbentang. Tantangan akan semakin besar di hadapan. Para kasepuhan dituntut memberikan keteladanan dalam menghadapi kehidupan, agar dakwah semakin produktif dan semakin solid dalam tatanan.

Ya Allah, kekalkan ikatan kemesraan di antara kami. Teguhkan hati kami. Bimbinglah langkah kami, agar bisa istiqamah di jalan dakwah yang Engkau ridhai. Amin.

nDalem Mertosanan, Yogyakarta, 27 Juni 2011

Sumber: http://beritapks.com/mabit-kasepuhan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar