jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Kamis, 23 Juni 2011

Isra Mikraj dan pembangunan karakter

Peristiwa yang penuh muatan keajaiban yang dialami Nabi Muhammad SAW, yaitu Isra Mikraj, akan diperingati umat Islam di seluruh dunia. Peristiwa ini mengandung pesan istimewa, besar dan penting. Isra Mikraj mengandung makna sangat fundamental terkait upaya pembentukan karakter manusia.
Pada peristiwa inilah perintah untuk mendirikan ibadah salat disampaikan oleh Tuhan secara langsung kepada utusan-Nya. Tidak berlebihan bila peristiwa ini selalu diidentikkan dengan ibadah salat. Momen Isra Mikaj adalah momen sejarah kelahiran perintah shalat.

Ibadah salat adalah bentuk peribadahan utama yang sangat fundamental dalam sistem ajaran Islam. Kedudukannya sebagai rukun kedua dari lima rukun Islam menegaskan hal ini. Kedudukan ini semakin terasa makna pentingnya karena ibadah salat sejak awal dirancang sebagai media ibadah dengan tujuan memperbaiki kualitas akhlak atau karakter manusia.

Pembangunan karakter atau akhlak inilah motivasi diutusnya semua nabi oleh Tuhan kepada umat manusia. Terkait dengan isu pembangunan karakter manusia Indonesia yang saat ini secara intensif sedang dikampanyekan oleh pemerintah, sejatinya dari momentum Isra Mikraj ini umat Islam bisa memetik banyak pelajaran dan hikmah.

Salat yang selalu diidentikkan dengan peristiwa Isra Mikraj memang didesain untuk memperbaiki akhlak atau karakter manusia, khususnya kaum muslim. Saat ini masyarakat muslim di Indonesia sedang dihadapkan pada fenomena rendahnya karakter dan moralitas para pemimpin yang notabene adalah seorang muslim atau penganut sistem agama Islam.

Dalam hal ini, ibadah salat sejatinya bisa dijadikan wahana pembangun karakter. Dalam tata kehidupan sosial masyarakat muslim, secara tradisional ibadat salat memegang peran dan fungsi untuk pembangunan karakter masyarakat. Hal ini selaras dengan pesan suci dalam Alquran Surat Al-Ankabut ayat 45 yang menegaskan sesungguhnya ibadah salat mencegah dari tindakan atau perbuatan keji, mungkar atau buruk dan destruktif.

Siapa pun orang yang berakal sehat dan berhati jernih pasti akan selalu mempertanyakan esensi salat yang dalam khitahnya berpeluang mengantar seorang muslim pada perilaku mulia dan terpuji serta mencegah dari tindakan keji dan jahat, namun potret masyarakat muslim justru menampilkan karakteristik yang sebaliknya.


Gagal dibangun

Karakteristik terpuji yang gagal dibangun oleh salat disebabkan reduksi makna ibadah salat. Salat yang memuat unsur ruhani, saat ini tidak dipraktikkan oleh mayoritas kalangan muslim. Salat jenis ini—yang dipraktikkan mayoritas muslim saat ini–tentu sangat mengabaikan dimensi ruhaniah yang mempengaruhi jiwa pelakunya sehingga memiliki perilaku terpuji, mulia dan enggan bertindak jahat.

Salat yang sangat reduktif ini kini telah menjadi gejala sosial keagamaan yang cukup memprihatinkan. Dengan pemahaman seperti ini, kita menjadi paham bila karakter positif gagal dibangun melalui ibadah salat. Salat dijalani semata sebagai ritual belaka dan miskin makna.

Kini, dalam krisis karakter yang sedang dihadapi masyarakat muslim di negeri ini, sebenarnya dan niscaya pelaksanaan salat yang melibatkan aspek ruhaniah akan membantu dan memberikan kontribusi besar. Ibadat salat yang dijalankan secara efektif agar berpengaruh pada perilaku mulia membutuhkan pemahaman di dua ranah, yakni eksoteris dan esoteris.

Salat yang reduktif dan hanya dijalankan pada satu ranah, hanya akan menghasilkan muslim-muslim berkaraker buruk dalam tata kehidupan sosial kita saat ini. Inilah fakta dan ironi yang mesti kita cermati sehubungan dengan perayaan Isra Mikraj yang merupakan momentum kelahiran perintah salat.

Bersamaan dengan momentum perayaan Isra Mikraj, sangat penting untuk dimunculkan pemahaman baru bahwa ibadah salat menjadi sangat utama dan istimewa karena bentuk ibadah ini mencakup ranah fisik dan spiritual. Dalam tata cara ibadah salat, tentu ada dimensi fisik yang meliputi tata cara dan gerak tubuh serta bacaan.

Namun, yang tak kalah penting adalah dimensi spiritual dalam salat yang meliputi makna bacaan, makna gerakan, kekuatan afirmatif bacaan, manifestasi penyembahan dan manifestasi kesyukuran. Kini, di kalangan masyarakat muslim, praktik ibadah salat telah terjebak dalam tindakan ibadah ritual semata.

Dalam konteks praksis (amaliah) masih banyak komunitas muslim yang memandang ibadah ini sebatas norma kewajiban. Motivasi pelaksanaan salat kadang-ladang justru dilatari motivasi yang tidak bermuatan syariah, semisal karena rasa malu, ikut-ikutan (taklid) atau karena takut berdosa bila tidak menjalankannya.

Cara pandang seperti ini mengakibatkan praktik salat hanya ditunaikan dalam rangka untuk menggugurkan kewajiban belaka. Bila ibadah salat tidak diwajibkan, niscaya prototipe muslim sejenis ini tidak akan menjalankan salat dan merasa gembira karena telah terlepas dari beban ibadah.

Dengan bentuk pelaksanaan ibadah–yang sangat diutamakan ini–yang terbatas pada dimensi fisik, wajar bila saat ini krisis akhlak dan karakter melanda masyarakat muslim, seperti korupsi yang menjadi momok dan penyakit akut sosial. Seorang muslim yang koruptif, bisa dipastikan pemahaman mereka terhadap agama masih dalam taraf eksoterik. Salat yang dijalankannya tidak memberikan pengaruh psikologis yang positif dan perubahan karakter atau akhlak.

Untuk itulah, demi peningkatan karakter kaum muslimin, pemahaman pada ranah esoteris harus mulai diperdalam dan diperhatikan. Aspek esoteris ini mencakup makna bacaan dan gerakan salat. Dengan memahami secara paripurna seluruh aspek dalam ibadah salat niscaya pembangunan karakter yang mulia akan terbentuk dalam masyarakat muslim secara luas. Karena ibadah salat memang sejak dilahirkan adalah untuk menciptakan manusia yang berkarakter mulia (akhlaqul karimah).

Lembaga sosial religius dan otoritas keagamaan, seperti Kementerian Agama atau Majelis Ulama Indonesia, semestinya memberikan perhatian yang lebih besar karena salat adalah pilar penting dalam pembangunan karakter manusia, terutama muslim, yang saat ini sedang dikampanyekan oleh pemerintah.

Oleh: Setiyo Purwanto, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, pelatih salat khusyuk

Sumber: Solopos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar