"Sudahlah jatuh, tertimpa tangga lagi…." Agaknya pepatah tersebut sangat tepat menggambarkan situasi dan kondisi internal PKS akhir-akhir ini. Belum lagi reda badai pertama yang menghentak memori kolektif kita tentang konflik internal PKS yang dipicu oleh laporan Yusuf Supendi yang tak lain merupakan salah seorang pendiri partai ini.
Ada juga mantan anggota DPRD Gorontalo dari PKS yang tertangkap basah sedang berjudi. Kini, badai lain yang tidak kurang dahsyatnya kembali menerjang internalnya.
Seperti diberitakan, Arifinto, anggota DPR RI Fraksi PKS, kepergok melihat tayangan porno saat sidang paripurna tentang pengesahan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dan pidato penutupan masa sidang III tahun sidang 2010-2011. Dalam jumpa pers Jumat (8/4) di DPR, Arifin mengaku jika ia membuka e-mail miliknya karena jenuh mengikuti rapat paripurna. Sontak, perilaku tak terpuji itu mendapat kritikan dari pelbagai lapisan masyarakat di seantero negeri.
Bertentangan Dengan Idealisme
Tindakan Arifinto tersebut, apa pun alasannya, sangat bertentangan dengan idealisme PKS yang terkenal dengan moralitas tinggi. Karenanya tak mengherankan jika partai ini dianggap sebagai benteng terakhir politik moralitas di Indonesia. Dan banyak peneliti telah menjadikan partai ini sebagai objek kajian politik kontemporer.
Selama ini persepsi umum yang terbentuk tentang PKS bahwa jualan utamanya adalah moralitas. Moral merupaka barang langka di negeri ini sehingga pasti harganya sangat mahal. Dikatakan sebagai barang langka tentunya karana penyakit moral seperti KKN sudah teramat massif menjangkiti setiap sendi kehidupan kita sehari-hari. Karenanya, terlalu sulit untuk menemukan pejabat public yang jujur dan tidak korup.
Selain itu, memproduksi moral atau menginternalisasi nilai-nilai yang bermoral tinggi kepada masyarakat menuntut biaya atau pengorbanan yang tak semua orang mau melakoninya.
Sosok yang bermoral akan menghadapi banyak pantangan yang akan menghancurkan citra moralitas yang dibentuknya sendiri. Ia pantang berbohong, tak boleh menyakiti rakyat, langsung maupun tidak. Dilarang mengambil hak rakyat, pantang memanipulasi dan melakukan perselingkuhan politik.
Juga tidak dibenarkan terlibat dalam persekongkolan dengan pengusaha, dan "haram" mempertontonkan kemewahan walaupun hartanya diperoleh secara halal. Oleh karena itu, tidak semua orang mampu.
Jika kita runut sedikit ke belakang, selama ini kita semua telah di-entertain- dengan moral PKS. Mulai dari penolakan fasilitas mobil mewah dan hotel berbintang bagi anggota perlemen dan cabinet, hingga penolakan kenaikan gaji anggota DPR serta bagi-bagi gaji ketiga belas. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Buah konsistensi dan Keteladanan
Di antara pendidikan politik bermoral yang pernah dipentaskan PKS di negeri ini adalah menghindari rangkap jabatan yang bertujuan agar tidak ada conflict of interest sebagai kader partai dan pejabat publik.
Tentu masih segar dalam ingatan kolektif kita bagaimana proses transisi sejuk dan menenteramkan dari Nurmahmudi Ismail sebagai presiden PKS kepada Hidayat Nurwahid saat dia diminta menjadi salah seorang pembantu presiden Abdurrahman Wahid sebagai menteri pertanian dan perkebunan. Juga transisi dari Hidayat Nurwahid kepada Tifatul Sembiring, beberapa hari setelah terpilih sebagai ketua MPR RI. Dan begitu seterusnya.
Semangat memisahkan jabatan partai dan jabatan public itulah dulu menjadi semboyan negarawan Inggris Winston Churchill. Bahwa, ketika pengabdian kepada Negara dimulai, maka berakhirlah pengabdian kepada partai.
Konsistensi PKS dalam memisahkan jabatan public dan jabatan partai, sungguh sebuah kultur politik yang baru di negeri ini. Dan, jujur saja, baru PKS lah yang berani memulai tradisi itu. Sebab, secakap dan sejujur apapun manusia, rangkap jabatan antara urusan public dan partai berpotensi menimbulkan penyelewengan. Dan, PKS melakukan langkah-langkah preventif karena menyadari bawha manusia memang bukan malaikat.
Inilah pendidikan politik yang segar dan amat berdimensi jauh ke depan. Ia tak saja mencegah konflik kepentingan, melainkan cara sehat melakukan regenerasi partai. Ia bisa menjauhkan kader partai yang memegang jabatan strategis terlalu lama.
Sebagai partai kader, PKS pernah menunjukkan betapa sebagai lembaga politik dengan platform partai yang jelas, ia tidak pernah takut kehilangan tokoh. Dan, memang PKS lah partai yang sama sekali tidak tergantung pada figure, tetapi kepada program. Sayang, contoh-contoh bagus pendidikan politik ini tidak menarik bagi partai-partai lain.
Karana itu, wajar jika PKS yang paling banyak menikmati keuntungan politik dari tahun ke tahun; kenaikan suara yang amat signifikan pada beberapa kali pemilihan legislative di tingkat pusat maupun pemilihan legislative dan ekskutif di tingkat daerah. Dengan kata lain, PKS telah menuai buah konsistensi dan keteladanan yang disemainya sejak awal mula kemunculanya dalam menegakkan politik moralitas.
Ikut Terperangkap?
Kasus Arifinto di atas seolah-olah meneguhkan, godaan kekuasaan yang ternyata "nikmat" itu tampaknya telah menutup mata hati para wakil rakyat dari PKS seperti anggota parlemen dari partai-partai lain.
Komitmen moral PKS untuk menegakkan keadilan dan pemerintahan yang bersih semestinya mampu menjadi pelita yang sedikit demi sedikit menyinari lingkungan kehidupan politik yang kian gelap dan suram. Kita jadi bertanya-tanya, apakah PKS ikut terperangkap dalam kegelapan itu?
Sebelum-sebelumnya, PKS hampir selalu dikecualikan dari potret buruk partai-partai politik kita. Organisasi partainya dipuji, rekreutmen internalnya diberi acungan jempol. Akan tetapi, dengan kinerja PKS yang ternyata sama saja dengan yang lain, barangkali tidak ada lagi anomaly dalam memberikan penilaian terhadap performance partai-partai.
Fakta Arifinto tersebut, terlepas apakah itu jebakan atau keteledoran, juga seakan mengokohkan realitas yang kian membenarkan sinyalemen, para politisi itu hanya "vocal" ketika mereka belum memperoleh bagian kue kekuasaan. Namun ketika partai turut menikmatinya, berbagai komitmen dan janji politik pun seolah turut lenyap ditelan bumi.
Quo Vadis PKS?
Apabila performa Arifinto –jenuh mengikuti rapat-rapat di DPR yang sesungguhnya memang untuk itu dia dipilih oleh rakyat-, mencerminkan performa PKS selama ini dan beberapa tahun ke depan, tentu saja sulit bagi partai ini untuk meningkatkan perolehan suaranya pada pemilu 2014.
Para pemilih yang semula bersimpati pada komitmen PKS mungkin akan menarik kembali dukungan mereka jika kinerja wakil-wakil rakyat dari partai ini tidak berubah, baik di ekskutif maupun di legislative.
PKS kini diuji, apakah tetap mampu menampilkan momitmen, konsistensi dan keteladanan dalam politik moralitas demi harkat rakyat yang lebih baik, atau hanya sekedar untuk memperoleh bagian kue kekuasaan?
Jika komitmen itu masih ada, kasus Arifinto ini menjadi momentum yang tepat bagi PKS untuk membuktikannya sebelum terlambat. Jika tidak ada lagi komitmen, bukankah itu artinya benteng terakhir politik moralitas di negeri ini telah roboh? Quo vadis PKS?
Oleh: Ahmad Arif, peminat kajian social, juga koresponden situs asyeh.com. Berdomisili di Banda Aceh sejak hari ketiga pasca tsunami 2004
Sumber: Suara Pembaca Detik.Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar