Perjalanan dan kiprah politik Islam dalam sejarahnya selalu diterpa oleh berbagai “badai” besar. Berbagai konspirasi membendung arus penyebaran politik Islam di berbagai kawasan.
Kita tentu ingat persis ketika kemenangan partai Islam HAMAS di Palestina yang ditentang habis-habisan oleh negara-negara Barat. Refah di Turki yang dibubarkan militer dengan alasan mengancam sekulerisme Turki, hingga Najmuddin Erbakan sebagai pelopor politik Islam kontemporer di Turki dilarang aktif di dunia politik selama beberapa tahun.
Larangan terhadap eksistensi Ikhwanul Muslimin di Mesir di masa Husni Mubarak, hingga pencaplokan terhadap kemenangan FIS di Aljazair beberapa dasawarsa silam dan berbagai kasus memilukan lainnya. Begitu juga sejarah Masyumi yang memperjuangkan politik Islam di Indonesia yang kemudian kita ketahui dibubarkan oleh presiden Soekarno. Begitulah sejarah perjalanan partai yang mengusung politik Islam di pentas demokrasi dunia.
Namun demikian, dibalik sejarah kelam tersebut, saat ini angin segar politik Islam sedang menaungi beberapa kekuatan Islam. Dimulai dari Turki yang eksistensi partai AKP dibawah kepemimpinan kharismatik Tayyib Erdogan berhasil menjadikan Turki sebagai kekuatan dunia yang disegani. Kuat secara militer dan ekonomi. Dan disaat yang bersamaan juga berhasil menampilkan Islam ke permukaan dengan mengalahkan pengaruh kekuatan sekuler yang hegemonik.
Di Indonesia, pasca Orde Baru, Islam politik bisa dikatakan mengalami kebangkitan yang signifikan, terutama secara kuantitatif. Kemunculan partai-partai berbasis Islam seperti PBB, Mayumi Baru, PK (kemudian menjadi PKS) menemani keberadaan PPP yang terlebih dahulu ada.
Namun kertebukaan politik Indonesia yang sudah melepaskan idelogi membuat keberadaab partai-partai Islam kehilangan daya jualnya, praktis kini, hanya PKS yang satu-satunya partai Islam yang perolehan suaranya meningkat di setiap pemilu. Sementara PPP yang pada pemilu 2004 meraih suara yang sangat signifikan, pada pemilu 2009 yang lalu mengalami penurunan suara yang sangat drastis.
Nasib beberapa partai Islam lain seperti PBB, PBR dan PKNU juga sangat malang dengan gagalnya mereka mencapai Electoral Threshold sehingga gagal menempatkan wakilnya di parlemen.
“Badai” Menerjang PKS
Kiprah PKS pun kini menerima ujian dahsyat. Khususnya pasca keributan terkait hak angket mafia pajak di parlemen. Ketika memperjuangkan hak berbicara ini, fraksi PKS di DPR RI secara konsisten mendukung hak angket tersebut meski dengan ancaman direshuflenya beberapa menterinya dari koalisi.
Kemudian hak angket tersebut kandas setelah fraksi dari Gerindra, PPP, PD dan PKB menolak hak angket tersebut, namun “badai besar” terfokus hanya menerjang PKS. “Badai” yang dimotori oleh mantan kadernya ini sejatinya bukanlah perkara yang terjadi dengan sendirinya.
Pasalnya, menurut pengakuan beberapa petinggi PKS, kasus pemecatan Yusuf Supendi sudah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Lalu kenapa baru sekarang baru dimunculkan?
Pengamat politik Burahanuddin Muhtadi melihat tidak tertutup kemungkinan adanya grand desain dari pihak luar yang bermain. Seperti adanya manuver yang sengaja dilakukan untuk mengkerdilkan PKS yang dinilai mulai mengganggu dan merongrong kekuasaan akibat ketegasannya yang berbeda dengan partai lain yang tergabung dalam koalisi terkait kasus hak angket pajak beberapa waktu lalu (detiknews.com/25/3).
Namun demikian, satu sisi positif adalah jika Yusuf Supendi (YS) membeberkan kasus ini menjelang pemilu 2014, kemungkinan suara PKS akan anjilok. Namun beruntung YS tidak menunggunya hingga menjelang pemilu 2014, sehingga PKS pun bisa menyiapkan amunisi untuk mengklarifikasi apa yang mereka sebut sebagai fitnah dari YS.
Waktu akan memberikan jawaban apakah tudingan YS untuk PKS benar adanya, seperti tuduhan korupsi YS kepada Anis Matta. Hanya tudingan “korupsi” ini yang patut kita tunggu jawabannnya. Sedangkan tuduhan poligami “tidak sah”, pemecatan secara sepihak, saya kira ini bukan masalah besar yang patut dibahas.
Apalagi penilaian YS menyebut tidak sahnya poligami beberapa elit PKS ini hanya karena tidak mendapat persetujuan dari dewan syariah partai.
Faktanya, Hidayat Nurwahid kemudian turut berbicara, bahwa persetujuan dewan syariah bukan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh anggota PKS yang ingin poligami. Isu poligami elit PKS ini sedikit tidaknya mungkin memang akan mempengaruhi konstituen PKS dari kalangan perempuan, namun nampaknya masyarakat sudah mulai sadar dengan permainan politik di negara ini.
Jika menjauhi PKS hanya dengan alasan karena beberapa elit PKS melakukan poligami, saya kira partai yang anti kepada poligami lebih berhak untuk dijauhi. Pemahaman keislaman masyarakat Indonesia saya yakin tidak buruk. Apalagi faktanya PKS tidak memasukkan poligami sebagai program partai. Dengan alasan ini, saya kira PKS masih akan tetap kuat.
Terkait pemecatan terhadap beberapa kadernya, saya kira ini bukti bahwa aturan di PKS berjalan ketat, dinamis dan tersistem. Satu hal yang membuat partai ini masih rapi hingga hari ini. Jika melanggar, anggota dewan syariah sekalipun tetap akan dipecat. Kita tentu tidak akan memaksa mereka(pengurus PKS) untuk membeberkan apa kesalahan YS karena PKS sendiri sepakat untuk tidak membuka aib YS.
Namun demikian, terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada pada PKS, penulis kira kita tetap bisa melihat partai ini sebagai partai yang memperjuangkan politik Islam. Keputusan PKS untuk menjadi partai terbuka sebenarnya sangat mudah untuk dipahami.
Sebab, jika PKS dengan agenda Islamnya hanya berharap pemilih dari kalangan Islam ideologi, tentu saja hal itu tidak cukup untuk memenangkan mereka dalam pemilu.
Secara kuantitas, suara pemilih dari kalangan Islam ideologi masih kalah jauh dari kalangan nasionalis-sekuler. Dalam hal pemikiran keislaman, meminjam pendekatan antropologi politik Clifford Geertz yang mengkategorikan priyayi, abangan, dan santri. Umat Islam di Indonesia, tidak terkecuali Aceh sekalipun, nampaknya mayoritas merupakan Islam abangan.
Partai Islam bukan pilihan politik muslim abangan yang justru lebih nyaman menjatuhkan pilihan politiknya kepada partai-partai nasionalis yang mengusung Pancasila sebagai ideologi. Fakta ini nampak dari pemilih partai-partai nasionalis seperti Demokrat, Golkar, dan PDIP, yang notabenenya mayoritas adalah umat Islam.
Dan pengalaman-pengalaman runtuhnya kekuatan Islam di beberapa kawasan lain sepertinya sudah dipelajari betul oleh PKS. Sehingga kemudian dengan misinya menjadi partai “terbuka”, PKS nampak ingin menjadikan agenda dakwah Islam sebagai agenda negara.
Bukan hanya tugas parpol Islam atau organisasi-organisasi Islam lainnya. Dan ini Nampak berhasil. Misalnya terlihat ketika PKS menjadi rekayator dibelakang RUU Anti Pornografi yang ditelurkan parlemen.
Menjadi aktor dan pelopor dibelakang agenda negara melawan arus budaya korupsi. Agenda Islam PKS ini juga menjadi agenda negara ketika PKS melalui Tifatul Sembiring akhirnya “berhasil” menutupi akses pornografi di dunia maya. Dan sebagainya.
Partai politik Islam, dengan segala kekurangannya, saya kira masih jauh lebih baik dari partai non Islam. Saya pikir, jika berbicara tentang Islam maka mestinya partai Islamlah yang harus bangkit.
Karena Islam adalah satu-satunya agama yang mengatur segala lini kehidupan manusia dengan sistemnya yang universal dan integral. Berharap ditengah pudaranya warna partai Islam lain dan realitas historis bahwa partai-partai Islam sulit bersatu, mudah-mudahan PKS sanggup bertahan menghadapi ”badai” tersebut untuk mempertahankan eksistensi kiprah politik Islam di nusantara.
Kita tentu tidak mau melihat PKS bernasib sama seperti beberapa partai Islam lain yang akhirnya menjadi sejarah saja dengan kegagalannya mencapai Electoral Threshold.
Harus diakui, pasca kemunculannya, PKS telah memberikan warna berbeda di pentas perpolitkan negara kita. Sebagai umat Islam, kenapa tidak jika kita harus mengakui kelebihan dan apa yang telah dikerjakan oleh saudara?.
Berharap mereka sempurna adalah hal yang mustahil. Karena kita juga tidak bisa sempurna. Keep Istiqamah PKS! Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh: Teuku Zulkhairi, Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry Banda Ace dan peneliti pada Lembaga Studi Agama dan Masyarakat (LSAMA) Aceh.
Sumber: Era Muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar