jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Rabu, 11 Agustus 2010

Tayangan Agamis yang Menjebak

Ramadan yang merupakan bulan penuh ampunan dan menuju ketakwaan sudah menyapa. Tak ayal, berbagai sisi kehidupan seolah larut dalam nuansa religius, tak terkecuali tayangan televisi di negeri ini.

Acara televisi yang awalnya tidak menampilkan nuansa agamis dan spiritualis, berubah drastis menjadi agamis dan spiritualis. Hampir secara keseluruhan, tayangan televisi akan berubah dengan corak dan nilai-nilai keagamaan, bernuansa spiritual dan akan di-setting agamis.

Mereka akan membuka seluruh baju keduniaan sejati yang selama ini mereka kenakan. Mereka mengganti seluruh tayangan televisi baik sinetron, ceramah agama, iklan, hiburan atau komedi akan berubah secara drastis ke nilai-nilai spiritual, tayangan tersebut akan di-setting dengan indah mulai sahur dan berbuka puasa sampai sahur kembali. Fenomena ini akan kita saksikan selama bulan Ramadan penuh.

Kehadiran bulan Ramadan selalu disambut meriah dengan berbagai acara dan event Ramadan. Di ranah infotainment, kita sudah bisa merasakan bagaimana insan perfilman Indonesia me-make up acaranya dengan nuansa religius. Nuansa acara religius bisa kita lihat dari sinetron Islam KTP, KCB the Series dan lain semacamnya. Tidak hanya berhenti di wilayah perfilman, iklan pun berubah dengan nuansa Ramadan, seperti XL paket Ramadan, IM3 Ramadan dan lainnya.

Yang menjadi tanda tanya besar bagi kita, apakah keadaan ini menunjukkan bahwa telah ada dan tumbuh kesadaran ketuhanan (god consciousness) di dalam tubuh masyarakat, ataukah hal ini menunjukkan adanya manipulasi usaha yang di bungkus dengan label agama? Dalam hal ini, penulis menganggap fenomena tersebut ada hubungan dan implikasi dengan pola pergeseran fungsi agama yang telah menjadi tempat atau sarana hiburan. Agama telah menjadi alat penyalur seni pertunjukan yang menghibur masyarakat, di mana semua teks keagamaan diformat berdasarkan prosedur selera masyarakat. Tujuannya agar acara-acara tersebut menjadi acara yang layak jual (marketable) dan mendapatkan rating tertinggi dalam dunia hiburan (film atau lain-lainnya).

Kapitalisme Global

Kalau kita lihat dan amati lebih intim dan mendetail, sebenarnya acara televisi yang berkembang selama bulan Ramadan itu merupakan bentuk dan kelanjutan dari kapitalisme global yang telah menguasai dunia penyiaran. Sehingga yang timbul adalah seperti yang tergambar di atas, adanya agama yang dijadikan sebagai hiburan, konsumerisme agama dll. Budaya kapitalisme yang telah berkuasa tersebut menyebabkan dan mengimplikasikan adanya komersialisasi agama, sehingga yang muncul adalah agama disajikan sesuai dengan selera kaum kapitalis tanpa memandang dampak positif-negatifnya kepada masyarakat. Masyarakat hanya disuguhi program yang (kelihatannya) agamis dan bernuansa spiritual, tetapi subtansinya minus, manipulatif dan menjebak masyarakat pada lubang kegersangan spiritual.

Di sinilah oligarki modal dan institusi keagamaan yang memainkan peranan penting, karena mereka telah berhasil menjalin hubungan intim. Sehingga yang terjadi, mereka mampu me-make up seluruh kegiatan usaha yang mereka atur dengan bendera dan label agama (Islam). Mereka bisa meraup keuntungan yang besar ketika Ramadan tiba, karena mereka akan menjajakan barang dagangannya dengan label Islam dan tentunya dengan bantuan institusi keagamaan, mereka akan men-setting seluruh acara TV di bulan Ramadan dengan nuansa spiritual dan bercorak islami.

Ketika sebuah acara di-setting sedemikian rupa dengan corak ketuhanan dan nuansa spiritual, maka akan timbul sifat menerima apa yang disampaikan (taken for granted) dalam acara tersebut tanpa melakukan filteralisasi mana yang baik dan yang buruk. Sehingga yang terjadi adalah adanya konsumerisme agama yang dijual para pemilik modal (kapitalis) dengan dukungan institusi keagamaan. Masyarakat akan dan telah kehilangan jati dirinya sebagai muslim yang taat kepada ajaran agama, sehingga pada titik kulminasinya akan menimbulkan krisis penghayatan agama.

TV kemudian menjadi kiblat masyarakat yang mengganti peran dan fungsi agama. Menurut Phillip Elliot, efek media massa yang paling kuat adalah bagaimana memengaruhi secara halus khalayak untuk mempersepsikan peran sosial dan aktivitas pribadi yang rutin. Contoh kecilnya, setiap habis magrib atau subuh yang dilakukan orang bukan lagi mengaji Alquran, tetapi mengaji program televisi. Sungguh ironis!

Acara-acara tersebut yang secara kasat mata kelihatan penuh dengan nuansa rohani, islami dan terkesan alim dan mendidik, padahal sebenarnya merupakan tipuan sesat. Hal itu menyeret kita pada kehidupan yang penuh dengan kegamangan spiritual, pragmatisme keagamaan dan pada akhirnya akan mengantarkan kita pada krisis penghayatan agama. Agama di bulan Ramadan menjadi tambang emas untuk meraih dan mendapatkan keuntungan yang besar.

Islam yang selama ini kita kenal dengan agama rahmatan lil ‘alamin dan pembawa kabar gembira, seakan tidak lagi menjadi agama yang membawa kabar gembira sekaligus sebagai rahmatan li ‘alamin. Ramadan yang merupakan bulan rahmat, ampunan dan bulan kasih sayang juga (seakan) mulai terkikis, dalam arti telah terjadi disfungsi keagamaan karena itu semua telah ternodai dengan acara televisi yang berlabel Islam yang pada hakikatnya merupakan anak dari kapitalisme global. Ujung-ujungnya, mereka hanya ingin mengeruk keuntungan di balik bulan suci Ramadan.

Sebenarnya adanya fenomena yang terjadi di bulan puasa sebagaimana yang tergambar di atas terjadi karena dua hal. Pertama, pengetahuan agama masyarakat masih dangkal. Kedua, menangnya budaya pasar atas budaya masjid (Kuntowijoyo, 2003). Keduanya merupakan hal yang relatif tetapi kalau tidak segera di cari problem solving-nya akan berdampak vital bagi spiritualitas masyarakat. Adanya dua kekuatan ideologi besar tersebut.

Fenomena kemenangan budaya pasar ketimbang budaya masjid memang sebuah ironi. Indonesia yang dikenal sebagai muslim mayoritas harus menelan pil pahit karena menjadi objek dan sasaran kapitalis.

Maka, bulan Ramadan kali ini harus mampu menjadi bahan renungan dan refleksi diri atas kejadian dan fenomena yang terjadi sebelumnya. Dalam hal ini, kita harus mampu melihat dan melakukan filteralisasi terhadap acara televisi yang kelihatannya islami, tetapi substansinya tidak. Ramadan, bulan yang mulia harus mampu mengantarkan manusia pada jalan ketakwaan yang sejati sebagaimana yang dijanjikan Allah.

Mewaspadai acara televisi merupakan jalan alternatif, karena tidak semua acara televisi itu mendidik dan membawa manusia pada nilai keimanan. Nilai keimanan dan ketakwaan hanya bisa kita rasakan kalau kita mampu bercanda ria dan bercengkerama dengan acara-acara yang Tuhan sajikan. Mengaji, mengkaji Alquran dan menjalankan ajaran yang dibawa rasulnya merupakan acara yang paling indah, khusus buat umatnya.

Oleh: Juma Darmapoetra, Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasia Yogyakarta
Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar