Matahari masih malu-malu. Bumi masih basah oleh jejak embun sisa tadi malam. Seorang laki-laki dengan surban dan jubah tergopoh-gopoh keluar dari surau. Yang ditujunya sebuah rumah gadang berlantai dua. Semakin dekat rumah itu, semakin jelas suara tangisan bayi membelah keheningan dan kegelapan malam yang masih enggan beranjak.
Muhammad Jamil, laki-laki itu, akhirnya sampai di sebuah kamar kecil nan sederhana. Ada ranjang besi tergeletak disana. Seorang wanita cantik, Siti Saleha namanya, dengan peluh masih mengalir menunggunya dengan senyuman bahagia dan seorang bayi laki-laki ditimangannya. Muhammad Jamil mengecup mesra dikeningnya, dan mengambil alih bayi dari tangan Siti Saleha.
Dipandanginya bayi mungil itu dengan takzim. Tak sedetikpun matanya berkedip. Engkau seperti aku. Kau benar-benar aku. Laki-laki itu berdesis. Mulutnya kemudian berkumat-kamit, menyenandungkan doa dan Shalawat Nabi dalam hati.
Sesaat Muhamad Jamil terlihat terpekur. Sesuatu hinggap dikepalanya. Tak lama kemudian ia berbisik lembut “Aku menamaimu Muhammad Attar, dia yang terpuji nan harum”.
Rumah Gadang tempat kelahiran Bung Hatta
Attar kecil, yang sering dipanggil Atta, tak lama menikmati belaian sang ayah tercinta. Ketika Atta berumur delapan bulan, Muhammad Jamil dipanggil olehNya. Ada mitos yang berkembang di tanah kelahiran Atta, bila seorang anak mirip sekali dengan ayahnya maka salah satu diantara mereka akan meninggal lebih cepat untuk memberikan jalan kepada yang lain. Atta benci kepercayaan itu. Ia benci berpikir bahwa Ia hidup dan tumbuh dengan telah mengorbankan nyawa ayahnya.
Atta, yang kemudian lambat laun dikenal sebagai Muhammad Hatta, tak pernah mengenal wajah sang ayah, karena tak sepotongpun foto ayahnya tertinggal. Ia mengenal ayahnya hanya dari cerita-cerita orang-orang di sekitarnya. Menurut mereka Muhammad Jamil adalah seorang mursyid, ulama atau guru penuntun. Pemandu dan penunjuk jalan bagi orang-orang yang menapaki tarekat untuk menemukan Kebenaran, untuk sampai kepada Tuhan.
Sepeninggal suaminya, Siti Saleha menikah kembali dengan seorang saudagar dari Palembang, Haji Ning namanya. Awalnya Hatta menyangka Haji Ninglah ayah kandungnya. Karena walaupun jarang pulang karena sibuk sebagai saudagar yang harus sering keluar kota, Haji Ning sangat menyayangi Hatta dan 4 saudari tiri Hatta lainnya tanpa membedakan satu sama lain. Haji Ninglah yang menumbuhkan minat baca Hatta sejak kecil. Oleh-oleh yang selalu dibawakan oleh Haji Ning dari bepergian buat Hatta kecil adalah buku.
Hatta tumbuh menjadi anak pendiam, serius dan pintar. Sebagai satu-satunya anak laki-laki di keluarga besarnya, Hatta berlimpah kasih sayang. Selain ibu dan ayah tirinya, Paman-paman Hatta amat menyayangi Hatta. Saat Haji Ning tak ada disisinya, Pak Gaek dan Mak Gaek Ilyas yang mendidiknya. Juga pamannya yang berada di Batuhampar, Pak Gaek Arsyad, seorang mursyid, sering menjenguknya di Bukittinggi.
Pak Gaek Ilyas adalah seorang pengusaha angkutan pos. Hubungan bisnis dengan pihak Belanda yang dibina oleh sang Paman, memungkinkan Hatta mengenyam pendidikan ala Belanda. Hatta termasuk sedikit anak di kampungnya yang bisa bersekolah di sekolah dasar Belanda saat itu.
Dari Pak Gaek Arsyad, Hatta diwajibkan untuk mendalami ilmu agama. Setiap habis maghrib, Hatta dan kawan-kawan sebayanya mengaji di surau. Guru mengajinya adalah Inyik Djambek, Syaikh Muahammad Djamil Djambek lengkapnya. Inyik Djambek mendalami Islam langsung di tanah Mekkah dan berguru pada ulama-ulama terkenal di sana pada masa itu.
Jarak antara rumah dan surau Inyik Djambek sekitar satu kilometer. Setelah bersekolah di Sekolah Rakyat di pagi hari dan bermain bola di lapangan kecil pada sore hari, menjelang maghrib Hatta bersiap-siap berangkat ke surau melewati pematang sawah dan beberapa petak kebun. Kadang diantar oleh Mak Gaeknya, namun Hatta lebih sering memilih berangkat bersama-sama teman sebayanya.
Selalu seperti itu. Hampir semua anak-anak di kampung Aur Tajungkang harus ke surau untuk mengaji dan belajar ilmu agama lainnya. Tak banyak yang pergi bersekolah.
“Buat apa?sekolah itu kan bikinan Belanda untuk menjinakkan kita. Lebih baik dijauhi saja. Asal kita rajin mengaji, kita tidak akan kalah dalam pengetahuan dengan orang-orang yang tamat sekolah rakyat itu.” Itu alasan yang selalu dikemukakan oleh para orang tua kala itu untuk tidak menyekolahkan anaknya di sekolah umum.
Keinginan tertinggi para orang tua kala itu adalah mengirim anak mereka ke Mekkah atau Kairo untuk belajar agama dan kembali ke tanah air untuk mengamalkan ilmunya kepada anak-anak negeri. Keinginan yang sama bersemayam di benak Pak Gaek Arsyad terhadap Hatta.
Pak Gaek Arsyad telah bersepakat dengan Siti Saleha. Pada saat ia naik haji nanti ia akan membawa Hatta serta dan akan dititipkannya kepada paman Hatta lainnya yang bersemayam di Mekkah, Haji Nurdin namanya.
Takdir ternyata berkata lain. Cita-cita Pak Gaek Arsyad untuk mengirim Hatta ke Mekkah ternyata tak kesampaian. Hatta malah makin lengket dengan pendidikan Belanda. Hanya dua tahun bersekolah di Sekolah Rakyat, Hatta di terima di sekolah dasar Belanda, ELS (Europeesch Lagere School) berkat lobi Pak Gaek Ilyas. Atas anjuran keluarga ibunya, Hatta kemudian melanjutkan sekolah menengah Belanda, MULO (Meer Uirgebreid Lagere School) di kota Padang.
Dikarenakan sejak kecil terbiasa dengan lingkungan usaha perdagangan yang dijalani keluarga besarnya, maka pada tahun 1919, Hatta memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah dagang (Handle Middlebare School) di Batavia.
Saat-saat mengutarakan keputusannya untuk belajar ke Batavia adalah saat yang berat buat Hatta. Ia sadar betul bahwa paman kesayangannya, Pak Gaek Arsyad, menghendakinya untuk mendalami Ilmu Agama, meneruskan tirah kakek dan ayahnya sebagai Mursyid, Pemuka Agama.
Ada ilustrasi mengharukan saat Hatta bersimpuh dihadapan pamannya dengan ditemani ibunda untuk mohon pamit bersekolah ke Batavia. Tak ada seorangpun memulai pembicaraan. Biasanya Hatta amat menikmati saat berbincang-bincang dengan Syaikh dari Batuhampar ini. Hatta sering merindukan ayahnya, dan kerinduan itu terobati saat bercengkerama dengan paman kesayangannya ini.
Namun kali ini, Hatta tak kuasa mengatakan apa-apa. Ia benar-benar malu dan takut untuk melukai paman yang sangat dicintainya itu.
Sementara itu, wajah yang datar dan hening terpancar dari wajah Pak Gaek Arsyad. Setelah terdiam cukup lama dan seakan tahu apa yang hendak diutarakan oleh Hatta, Syaikh Arsyad akhirnya buka bicara.
Allah mahakuasa. Appapun yang dikehendakinya pasti terjadi. Segala yang tidak dimauinya takkan pernah terwujud. Dia memperjalankan semua hambanya. Dia pula yang mengatur lintasan nasib manusia.
Jalan hidupmu sudah ditentukan Allah, tetapi keyakinanku cukup kuat bahwa kau tidak akan menyimpang dari jalan agama Islam, dan jalan Allah. Mungkin pula pengetahuanmu kelak tentang agama tidak begitu luas seperti yang dimiliki seorang alim ulama, tetapi perasaan Islam telah tertanam dalam jiwamu dan itu tidak akan hilang. Nakcik Hatta, aku hanya berpesan, pegang teguhlah agamamu.
Kemudian meluncurlah dengan lembut dan tulus kata-kata nasihat penuh kebijakan dari mulut Syaikh Arsyad. Tak ada nada marah atau kecewa yang terdengar. Sebagai seorang ahli tarekat yang berpandangan luas, ia berserah diri kepada takdir dan kehendak Allah. Ia sadar tak bisa mengubah lagi keputusan anak kemenakannya ini.
Berbekal itulah Hatta memantapkan langkahnya menuju Batavia.
Disarikan dari: Hatta: Hikayat dan Cinta; Kemerdekaan, Dedi Ahimsa Riyadi, 2010
Sumber: suarahatiku.blogdetik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar