jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Kamis, 12 Agustus 2010

Puasa dan Momentum Evaluasi Diri

Jakarta. Setiap bulan Ramadan tiba, masjid-masjid dan surau tiba-tiba ramai dan bergeliat. Tak jarang kaum muslimin di negeri ini mengadakan tabligh akbar atau acara sejenis guna menyambut bulan Ramadan dengan beragam acara.

Namun dalam upaya penyambutan yang memang dianjurkan sebagaimana hadits Nabi, "Man fariha biduhuli Ramadan, dakholal jannah", banyak dari kita yang lupa akan substansi dan hakikat dari bulan Ramadan dan ibadah puasa. Puasa kita tiba-tiba hanya menjadi rutinitas yang kosong. Rutinitas melelahkan bagi mereka yang memaknai puasa tak lebih dari perintah yang membebani.

Untuk itu, sebelum kita kehilangan hari demi hari yang ada di bulan penuh berkah ini, tak ada salahnya kita membaca ulang makna bulan Ramadan dan makna ibadah puasa kita dalam relasinya dengan kehidupan nyata sehari-hari.

Untuk menggawangi agar puasa kita tidak sekadar menjadi rutinitas ibadah yang hampa makna, Rasulullah Muhammad saw memberikan arahan dan petunjuk bagaimana agar puasa kita mendapatkan hasil yang maksimal. Untuk mencapai target tertinggi ibadah puasa Ramadan sebagaimana yang difirmankan Allah di surat Albaqoroh, yakni mencapai derajat 'Muttaqin', Rasulullah memberikan beberapa trik dan cara agar puasa kita tidak hanya menghasilkan lapar dan dahaga.

Kanjeng Nabi Muhammad juga memberikan petunjuk puasa yang bisa mendapatkan balasan surga Allah dan pengampunan dosa sebagaimana sabdanya "Man shoma romadhona imanan wahtisaban ghufiro lahu ma taqoddama min dambih". Yang artinya, barang siapa yang berpuasa Ramadan dengan penuh keimanan dan selalu menghitung-hitung (evaluasi diri), Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu.

Hadis yang selalu dibaca para dai dan umat Islam setiap bulan Ramadan tiba ini menjadi acuan konkret bagaimana puasa yang 'bermutu' dan menghasilkan kualitas keimanan dan ketaqwaan yang tinggi. Dalam hadits tersebut, secara gamblang Rasulullah menjelaskan bahwa puasa yang menghasilkan manfaat dan energi positif dalam diri kita adalah puasa yang kita lakukan dengan penuh keimanan dan ihtisaban (evaluasi). Puasa karena semata-mata senang dan cinta kepada Allah, bukan karena paksaan atau karena ingin dipuji orang, dan bukan karena merasa dibebani. Itulah syarat pertama yang harus dipenuhi agar puasa kita bermakna dan menghasilkan energi positif.

Syarat kedua, selain puasa dilakukan dengan penuh keimanan, puasa kita harus senantiasa dalam kesadaran penuh diri kita. Puasa kita tidak hanya menjadi rutinitas menahan makan dan minum serta nafsu senggama dan menggantinya di malam hari, tetapi harus selalu disertai refleksi dan evaluasi diri.

Itulah yang disebut 'ihtisaban'. Dengan pendekatan puasa yang demikian itu, insya Allah, janji Allah dalam hadist nabi di atas akan dapat kita raih dengan baik. Tanpa kedua syarat itu, puasa kita hanya akan menjadi rutinitas menahan lapar dan mengubah jadwal makan kita saja. Sebab, puasa yang tidak disertai imanan dan ihtisaban, hanya akan terjebak pada penyesuaian jadwal kegiatan dan pola makan semata. Naudzubillahi mindzalik.

Apa yang dimaksud dengan 'ihtisaban' itu? Dalam arti bahasa, Ihtisaban bisa dimaknai menghitung-hitung, mengevaluasi diri. Namun secara lebih luas, Ihtisaban adalah upaya kita untuk terus menerus melakukan evaluasi dan kontrol atas semua amalan dan perilaku kita selama menjalankan perintah Allah berupa ibadah puasa.

Dalam kata ihtisaban itu selalu muncul pertanyaan evaluatif, sudahkan kita menjalankan semua perintah Allah dengan baik dan benar. Sudahkan kita mengurangi prilaku buruk yang menyakitkan dan menggangu kenyamanan orang lain? Dan sudahkah kita memperbaiki semua amalan kita hari ini yang lebih baik dari hari kemarin. Itulah makna ihtisaban yang menjadi syarat kita mendapatkan pengampunan semua dosa jika kita melakukan puasa sesuai dengan anjuran rasul itu.

Semua pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada upaya refleksi kita atas diri guna mencapai kualitas pribadi yang tenang, stabil dan matang serta dewasa saat kita berpuasa sangat dianjurkan Rasul. Karena semua itu akan menjadi prasyarat tujuan tercapainya target ibadah secara umum, yaitu membantuk pribadi yang sabar, kuat, baik, tawakkal dan tawadlu (rendah hati).

Karena itulah, kalau kita jeli dengan semua manfaat ibadah yang diwajibkan Allah kepada kita, pasti kita akan menemui bahwa semua amalan ibadah wajib itu hanya bertujuan membentuk pribadi dan jiwa yang sabar, tegar, dan tawakkal. Lihat saja apa sesungguhnya tujuan shalat yang kita lakukan setiap hari? Untuk menjadikan jiwa kita yang sabar dari bermaksiat kepada Allah sebagaimana firmanNya, "Innassholata tanha 'anil fahsya'i walmunkar". Demikian juga dengan ibadah zakat, puasa dan haji. Semua untuk memantapkan tauhid kita kepada Allah dan membentuk pribadi yang menarik karena sabar dan tawakkal serta kuat.

Selain memberi trik, Rasulullah juga 'memberi warning' dengan salah satu hadits yang lain soal orang-orang yang lalai dalam berpuasa. Dalam hadits itu dijelaskan bagi siapapun yang berpuasa namun tidak mengindahkan kaidah-kaidah yang benar dalam peningkatan kualitas diri dan jiwa, dia hanya akan mendapatkan rasa lapar dan dahaga. Nabi bersabda, "Kam min shoimin laisa lahu min shiyamihi illal ju'i wal aths". Yang artinya, "Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga".

Hadits ini dengan tegas memberikan petunjuk kepada kita bahwa banyak dari saudara-saudara kita yang berusaha menjalankan ibadah puasa, tetapi mereka hanya mampu menghasilkan lapar dan dahaga semata. Ibadah puasa mereka sama sekali tidak meberikan dampak dan efek positif bagi pembentukan pribadi dan karakter diri yang muttaqin. Akibatnya, setelah bulan puasa usai, mereka kembali lagi dengan kebiasaan buruknya dan semakin tidak peduli dengan sesama dan lingkungannya. Orang-orang seperti inilah yang disebut Nabi puasanya hanya capek dan sia-sia belaka. Naudzubillah.

Oleh karena itu, agar kualitas puasa kita tetap terjamin dan dalam kontrol yang baik, kita harus senantiasa belajar dan berlatih mengendalikan diri dan jiwa kita. Sebab, tanpa semua upaya itu, kita akan terjebak ke dalam masyarakat yang disebut Rasuluulah sebagai orang yang celaka dalam puasanya karena tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga.

Untuk memperkuat dalil di atas, Rasulullah juga bersabda dalam hadits lain soal beberapa hal yang harus dijauhi saat kita menjalankan ibadah puasa agar pahala puasa kita tidak hangus. Beberapa amalan yang harus kita jauhi itu diantaranya, kita tidak boleh bohong, melakukan gibah, namimah, fitnah dan caci maki. Semua itu adalah latihan terkait penguasaan diri kita atas penyakit nafsu dan hati.

Untuk itu, agar bulan Ramadan kali ini bisa kita maksimalkan dengan amalan yang positif, mari kita manfaatkan puasa kali ini dengan ibadah, amalan baik yang bermanfaat baik bagi diri kita maupun lingkungan serta sesama hamba Allah. Jangan sampai atas alasan puasa, aktivitas kita menjadi kendor dan semangat kita menjadi menurun. Karena sejatinya puasa bukan untuk menurunkan semangat dan aktivitas, tetapi justru untuk meningkatkan aktivitas yang bisa mengantarkan jiwa dan diri kita menggapai kualitas muttaqin. Wallahu a'lam.


Oleh: Muhammad Nur Hayid, seorang wartawan media online.
Sumber: Ramadhan.Detik.Com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar