Peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-65 Republik Indonesia tahun ini, mungkin menjadi tragedi kemerdekaan bangsa Indonesia. Bagaimana tidak? Korupsi sebagai salah satu musuh besar rakyat Indonesia bahkan masyarakat dunia, nampaknya masih dibiarkan tumbuh subur di Indonesia. Pemerintah belum nampak menunjukkan keseriusan dalam merumuskan politik hukum pemberantasan korupsi secara komprehensif, jelas dan tegas tanpa kompromi untuk memerdekakan bangsa Indonesia dalam arti yang sesungguhnya. Pada perayaan HUT ke-65 RI, sebanyak 330 narapidana kasus korupsi mendapat remisi dan 11 orang di antaranya langsung bebas setelah masa hukuman penjaranya dikurangi.
Di HUT ke-65 RI, Presiden SBY bahkan mengeluarkan kebijakan kontroversial yang mengejutkan publik yaitu memberikan grasi kepada Syaukani terpidana kasus korupsi APBD Kutai Kartanegara. Sisa hukuman tiga tahun dari enam tahun yang semestinya dijalani di balik jeruji besi dengan sendirinya terhapus, sehingga dapat lebih cepat keluar dari penjara koruptor. Di samping pemberian grasi kepada Syaukani, beberapa koruptor juga mendapatkan remisi, di antaranya Aulia Pohan (terpidana kasus aliran dana Bank Indonesia), Aslim Tadjuddin, Bunbunan Hutapea, Maman Somantri dan Artalyta Suryani (terpidana suap terhadap jaksa).
Secara normatif, pemberian grasi kepada narapidana memang dimungkinkan sebagai hak prerogatif presiden sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Begitu juga dengan pemberian remisi, secara normatif setiap narapidana memang memiliki hak mendapatkan remisi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Bahkan secara tegas PP tersebut juga mengatur remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi, yaitu harus memenuhi syarat; pertama, berkelakuan baik dan kedua, telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana (lihat Pasal 34 ayat (3).
Walaupun secara yuridis normatif hal tersebut dimungkinkan, namun hal ini kurang lazim dilakukan di tengah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentunya hal ini menimbulkan kekecewaan yang sangat besar terhadap publik. Rakyat mulai mempertanyakan keseriusan pemerintahan Presiden SBY dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime), tentunya dalam penanganannya pun harus secara luar biasa. Korupsi selain merugikan keuangan negara, dalam jangka panjang dapat berpotensi menghancurkan tatanan perekonomian kehidupan berbangsa dan bernegara, serta dapat menciptakan kemiskinan dan menghambat terciptanya kesejahteraan rakyat.
Pemberian grasi dan remisi bagi para koruptor nampaknya kurang tepat diberikan di tengah upaya penegakan tindak pidana korupsi yang masih setengah hati negeri ini. Bisa dilihat tren perkara tindak pidana korupsi yang rata-rata cuma dipidana dengan hukuman penjara jauh di bawah lima tahun. Walaupun tindak pidana korupsi dapat diancam pidana mati, namun dalam pelaksanaannya hal tersebut sulit diwujudkan. Bandingkan dengan penanganan perkara tindak pidana narkotika dan terorisme yang juga mengatur ancaman tindak pidana mati di dalamnya. Aturan pidana mati dalam kasus tindak pidana narkotika dan terorisme bisa ditegakkan, misalnya dalam perkara Amrozi cs (pelaku tindak pidana terorisme) yang dijatuhi hukuman pidana mati.
Paradoks
Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan presiden SBY tampaknya melakukan paradoks kebijakan pemberantasan korupsi. Di satu sisi pada pidato kenegaraan HUT RI ke-65, Presiden SBY ingin menunjukkan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, dalam pidatonya presiden menjelaskan bahwa “Program antikorupsi kita lakukan secara sistemik, berkesinambungan, mulai dari atas, top-down, dan tanpa pandang bulu. Sebagaimana yang terjadi di negara-negara lain, perjuangan antikorupsi di negeri ini akan terus menghadapi tantangan dan resistensi. Namun, kita tidak akan patah semangat; kita akan terus berikhtiar, karena kita semua ingin melihat korupsi terkikis habis dari bumi Indonesia”.
Namun di sisi lain, presiden memberikan kelonggaran bagi para koruptor untuk tetap bergerak dan berkembang di Indonesia. Pemberian grasi dan remisi bagi para koruptor merupakan salah satu bukti tindakan kontra produktif yang dilakukan pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi. Presiden SBY sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini belum dapat menjadi teladan sebagai pemimpin garda terdepan untuk menyatakan perang melawan korupsi. Kebijakan pemberian grasi dan remisi bagi para koruptor dapat mematahkan semangat para penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Secara retoris di dalam setiap pidatonya tampaknya presiden memiliki komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi. Apabila hal ini benar tentunya akan menjadi keseriusan bersama secara sinergis antara kepolisian, kejaksaan, KPK dan Mahkamah Agung. Namun bila melihat tren penangan kasus yang ada mulai dari tuntutan dan putusan pengadilan yang masih relatif ringan, tampaknya aparat penegak hukum belum ada satu pemahaman bersama bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang termasuk kejahatan luar biasa.
Sekali lagi penulis ingin membandingkan penangan tindak pidana korupsi dan tindak pidana terorisme yang sama-sama tergolong kejahatan luar biasa. Keseriusan penanganan tindak pidana terorisme bisa langsung dapat dilihat dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan di depan pengadilan sampai di lembaga pemasyarakatan. Dari semua proses yang ada seluruh lembaga saling mendukung dan menguatkan, tidak ada celah sedikit pun tindak pidana terorisme dapat bebas dari hukuman.
Berbeda jika kita melihat semua proses tersebut di atas dalam perkara tindak pidana korupsi, tidak jarang ditemukan proses mafia hukum dalam setiap tahapan proses penangan perkara tindak pidana korupsi mulai dari penyelidikan sampai pada terpidana menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Tentunya kita tidak lupa dengan penjara mewah Artalyta Suryani. Apabila melihat realitas tersebut apakah masih layak grasi dan remisi diberikan kepada para koruptor? (***)
Oleh: Achmadi, Penulis adalah pegiat di Pusat Kajian Cinta Tanah Air (Pusakacita), tinggal di Kadipiro, Solo
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar