jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Minggu, 11 Juli 2010

Menumbuhsuburkan Pohon Persaudaraan

Persaudaraan dan persahabatan sejati hanya tumbuh di atas iman. Hubungan persaudaraan dan persahabatan akan cacat dan rusak bila tumbuh di atas kepentingan individu mau-pun kelompok yang bersifat duniawi. Pilar paling penting bagi terbangunnya suasana ukhuwah di kalangan para sahabat dahulu, seiring sejalan dengan iman yang tertanam kuat dalam diri mereka.

Itu yang menjadi ciri pembinaan Rasulullah selama 13 tahun dalam periode Makkah kepada para sahabatnya. Periode itu, lebih lama dari masa perjuangan Rasul sepanjang 10 tahun pada periode Madinah. Di Makkah-lah, tempat Rasul pertama kali menanam benih, menumbuhsuburkan dan memperkokoh akar keimanan dalam diri para sahabatnya. Itulah yang menjadi landasan berdirinya bangunan besar persaudaraan dan ukhuwah di antara para sahabat. Tingkat ukhuwah para sahabat, seperti yang kerap diceritakan dalam kitab-kitab sejarah, bahkan hingga tahap mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan saudaranya.

Persahabatan dan persaudaraan memang tak muncul secara instan. Ibarat pohon, harus dipupuk dan disirami. Sebagaimana Rasulullah pun sering mengarahkan sahabat-sahabatnya kepada perilaku yang membuat persaudaraan itu semakin kuat di antara mereka. Hal ini membutuhkan proses yang sangat panjang dan harus terus menerus dilakukan.

Pertama, mengungkapkan perasaan batin kepada saudara sesama mukmin. Keterbukaan seperti ini, sangat berpengaruh pada kualitas persaudaraan dan persahabatan. Salah satu bentuknya, seperti perintah Rasul kepada seorang sahabat agar ia menyampaikan perasaan ’cinta’nya kepada orang yang dicintai, bahwa ia mencintainya karena Allah. Pernyataan ini adalah pendahuluan bagi terbukanya jalur komunikasi yang baik antara seseorang dengan saudaranya.

Rasul juga mengarahkan para sahabat untuk berkomunikasi dan menumbuhkan kecintaan di antara mereka dengan menyampaikan salam. Beliau bersabda, “Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Tidak akan masuk surga kalian sampai kalian beriman. Dan tidak akan beriman sampai mereka mereka saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kalian dengan sesuatu yang jika kalian lakukan, maka kalian akan saling cinta? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim).

Salam yang dimaksud oleh Rasulullah, tentu tidak hanya salam secara lisan. Tapi salam dalam makna yang lebih dalam yaitu kedamaian dalam hati. Termasuk dalam kategori menyebarkan salam adalah dengan menyambutnya dengan wajah senang, menjabat tangannya dengan kehangatan, memandangnya dengan penuh kehangatan dan sebagainya.

“Jangan kau menghina kebaikan meskipun kecil, seperti sekadar berwajah ceria di hadapan saudaramu,” demikian pesan Rasulullah saw.

Wajah ceria, jabatan tangan yang hangat, pandangan mata, seluruhnya akan memunculkan getaran dalam jiwa. Inilah yang dinyatakan oleh Jarir Al Bajali tentang kesannya yang sangat mendalam dengan senyum Rasulullah. Katanya, “Tak ada yang membatasi aku dan Rasulullah sejak aku masuk Islam, dan tidak pernah Rasul melihatku kecuali dia tersenyum.” (HR. Bukhari)

Pengungkapan perasaan batin juga bisa dicetuskan melalui bait-bait do’a kepada orang yang dicintai. Sebagaimana anjuran Rasulullah, “Doa seorang mukmin kepada saudaranya, dalam kondisi yang tidak diketahui (oleh saudaranya), akan dikabulkan oleh Allah.”

Al Hafidz Khatib Baghdadi menceritakan tentang Thayib Ismail Abi Hamdun, salah seorang hafiz Qur’an terkenal di zamannya. Disebutkan Abu Hamdun mempunyai catatan 300 orang saudara-saudaranya, yang setiap hari didoakan satu persatu oleh Abu Hamdun. Pernah, suatu ketika Abu Hamdun tertidur dan belum mendoakan mereka. Dalam tidurnya Abu Hamdun bermimpi seseorang bertanya, “Kenapa engkau tidak menyalakan lampu pada malam ini? Abu Hamdun terbangun dan menyalakan lampu. Kemudian ia mengambil catatannya dan berdoa untuk saudara-saudaranya satu persatu sampai selesai.” (Tarikh Baghdad, 9/361).

Kedua, memperbanyak interaksi secara langsung dengan saudara seiman. Hal ini juga penting untuk membina jalur komunikasi yang baik antara satu pihak dengan pihak yang lain. Pertemuan dapat menjadi sarana saling menyampaikan nasihat, mendiskusikan berbagai persoalan yang bermanfaat, saling membantu, di samping mengetahui lebih jauh tentang kondisi masing-masing.

Ini juga yang dianjurkan oleh Rasulullah. Salah satunya adalah dengan melakukan kunjungan kepada saudara seiman. Rasulullah pernah bersabda, “Maukah kalian aku sampaikan tentang ahli surga? Para nabi di surga, orang yang mati syahid di surga, orang yang jujur di surga, para bayi di surga, dan orang yang menziarahi saudaranya dari tepi kota karena Allah, juga di surga.” (HR Thabrani dan Daruquthni).

Hasan Al Bashri mengatakan, “Bertemu dengan saudara kami lebih aku sukai daripada isteri dan anak kami. Karena keluarga kami mengingatkan kami dengan dunia, sedangkan saudara kami mengingatkan kami dengan akhirat.” (Ihya Ulumiddin, 2/176)

Bahkan Malik bin Dinar, tokoh generasi tabi’in, mengatakan, “Tak ada yang tersisa dari ruh dunia kecuali tiga: Bertemu dengan saudara, tahajud dengan membaca Al Qur’an, dan rumah yang di dalamnya digunakan untuk dzikrullah.”

Umar ra juga mengatakan, “Kalaulah bukan karena berjuang di jalan Allah, atau meletakkan kening di atas tanah untuk sujud kepada Allah, atau duduk bersama bertemu dengan orang-orang yang mengemukakan kalimat yang baik sebagaimana memetik buah-buahanyang baik, niscaya aku lebih suka meninggal untuk bertemu dengan Allah SWT.” (Az Zuhd li Ibnul Mubarak, 416)

Ketiga, bersikap empati dan peduli terhadap segala keadaan yang dialami oleh saudara seiman. Berempati, bisa diwujudkan dengan sikap memasukkan kebahagiaan dalam hati orang lain.

Inilah yang disampaikan oleh Ibnu Umar ra, “Amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan dalam hati seorang muslim, atau engkau mengangkat suatu kesulitannya, atau engkau membayarkan hutangnya, atau engkau mengusir laparnya. Aku berjalan bersama seorang saudara dalam memenuhi keperluan, itu lebih aku cintai daripada aku itikaf di masjid ini (masjid Nabawi) selama sebulan. Dan barang siapa yang berjalan bersama saudaranya dalam suatu keperluan sampai saudaranya mendapatkan keperluannya, niscaya Allah akan memantapkan pijakan kakinya di hari manusia terpeleset.” (HR Thabrani)

Agar seseorang bisa memberi kebahagiaan kepada orang lain, ia harus mengetahui kondisi saudaranya tersebut. Begitu seharusnya seorang saudara turut larut dalam kebahagiaan dan turut bersedih dalam duka yang dirasakan saudaranya.

Sa’id bin Al Ash mengatakan, “Saya tidak menyukai bila lalat lewat di depan saudaraku karena saya khawatir lalat itu akan menyakitinya.”

Demikianlah panduan ber-ukhuwah yang diambil dari sikap-sikap para sahabat dan salafus shalih dalam memelihara hubungan di antara mereka. Sungguh indah bila kaum muslimin saat ini mampu mewujudkan suasana berukhuwah.

Seorang ulama dakwah, Hasan Al-Banna, mungkin salah satu tokoh yang berupaya membumikan kembali konsep persaudaraan itu di kalangan umat Islam. Dalam ’memorandumnya,’ ia menuliskan salah satu misi perjuangan yang dilakukannya adalah “mengangkat persaudaraan di antara kaum muslimin dari tingkat pembicaraan dan wacana pada tingkatan praktis dan aplikatif.” (Risalatut Ta’lim, Hasan Al Banna)


Sumber: Majalah Tarbawi Edisi 27 Th. 3/Syawal 1422 H/31 Desember 2001 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar