jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Senin, 17 Mei 2010

Korupsi, Neraka bagi Sesama

Romo Benny Susetyo dari Konferensi Waligereja Indonesia dalam diskusi di Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC) di Jakarta baru-baru ini mengungkapkan, organisasi keagamaan berpotensi besar ikut mendorong upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, karena mereka punya pengaruh besar di masyarakat.

Potensi itu hanya akan terwujud jika lembaga keagamaan mampu menjaga integritas dan kemandiriannya terhadap kekuasaan. Sayangnya potensi itu selama ini justru tenggelam karena organisasi keagamaan justru ikut larut dalam hiruk-pikuk kekuasaan, sehingga mereka justru menjadi bagian dalam permasalahan korupsi. Tepat pendapat Djohan Effendi yang menyebutkan ada kegagalan agama dalam hal korupsi ini. Budayawan dan agamawan Emha Ainun Najib pun menyebut, bangsa ini begitu ahli dalam menghancurkan dirinya sendiri lewat korupsi.

Sementara itu, Prof Dr Komaruddin Hidayat menyesalkan berbagai modus operandi untuk melegitimasi tindakan korup dengan membungkusnya lewat kemasan agama. Yang paling disesalkan adalah adanya upaya pemutihan atau penyucian dosa dengan perilaku keagamaan. Dengan pergi haji atau ziarah di makam Yesus di Yerusalem, dengan mendirikan tempat ibadah atau menyantuni anak yatim lewat uang korupsi, seolah tindakan korup bakal mendapat ampunan Tuhan. Kalau fenomena pemutihan ini benar, berarti semakin menunjukkan betapa kebobrokan moral di negeri ini sungguh kian akut.

Aparat Hukum

Memang ini bukan hanya kesalahan organisasi keagamaan atau umat beragama saja. Ini juga akibat belum tegaknya hukum dan keadilan sesuai harapan. Ironisnya, aparat penegak hukum (mulai dari polisi, jaksa atau hakim) yang seharusnya menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan justru ikut berperan dalam membusukkan bangsa lewat korupsi. Korupsi memang berasal dari bahasa Latin “corrumpere” yang arti awalnya adalah membusukkan.

Simak saja dalam upaya pemberantasan korupsi, kontribusi dari institusi hukum kita bisa dikatakan minim. Berdasarkan ekonom UGM Dr Rimawan Pradiptyo MSc, sebanyak Rp 73,07 triliun dana telah dikorup oleh 540 koruptor pada 2008. Kendati demikian, tuntutan jaksa tentang uang yang harus dikembalikan koruptor hanya Rp 32,41 triliun. Umumnya terpidana melakukan banding ke Mahkamah Agung (MA).

Kemudian oleh MA, hanya Rp 5,32 triliun saja dana yang harus dikembalikan ke negara. Bayangkan hanya 7,29 persen dana yang kembalikan ke negara (www.ugm.ac.id). Kalau melihat besarnya uang yang dikorup dan tidak kembali, kita bisa diliputi apatisme. Apalagi ini terjadi di negeri yang bersila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Mungkin benar tudingan budayawan dan wartawan senior Mochtar Lubis (almarhum), betapa munafiknya bangsa ini: “Kemunafikan mengisi rongga kepala, hati, jiwa dan seluruh tubuh kita. Dalam hati kita tidak setuju, tetapi kita mengatakan setuju. Dalam hati kita mengutuk korupsi, tetapi kita berbuat korupsi. Dalam hati kita mengutuk penyalahgunaan kekuasaan, tetapi kita menyalahgunakan kekuasaan” (Pembebasan Budaya-Budaya Kita, 1999).

Neraka bagi Sesama

Maka seorang ustaz di acara kuliah subuh di sebuah stasiun televisi menyebut para koruptor sebagai binatang buas. Betapa tidak buas, kalau harta yang mereka korup hanya dihabiskan demi memuaskan ego mereka sendiri. Tidak berlebihan bila para koruptor kita persalahkan karena hanya pandai menciptakan surga lewat uang korupsinya seraya menciptakan neraka bagi banyak orang lain.

Dampak korupsi memang menciptakan neraka bagi sesama. Ini amat jahat. Bayangkan, dengan uang negara yang terus dirampok dan masuk kantong pribadi, kesempatan menjadi hilang bagi anak-anak miskin yang menderita gizi buruk untuk mendapatkan asupan gizi cukup. Akibat dirampok koruptor, banyak anak miskin tidak bisa masuk ke perguruan tinggi yang biayanya kian mahal.

Jalan-jalan tambah rusak karena anggaran pembangunannya sudah disunat dan dibelikan material yang murah sehingga jalan menjadi cepat rusak, berlubang, dan rawan kecelakaan. Ada rangkaian dampak buruk dari tindakan para koruptor yang menciptakan neraka bagi orang lain. Yang patut diwaspadai, menurut almarhum Selo Sumardjan dalam pengantarnya untuk buku Membasmi Korupsi karya Robert Klitgaard (1998), “Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia.”

Yang namanya penyakit tentu saja menular. Yang menyedihkan jika sosok yang sebelumnya kita kenal suci dan memiliki integritas ternyata jatuh dalam korupsi. Sudah banyak contoh dalam hal ini. Seorang pejuang HAM muda atau aktivis proburuh yang begitu idealis, ketika masuk struktur kekuasaan yang basah, langsung bermetamorfosis. Kalau sekadar jadi bunglon, mungkin tak masalah.

Namun, jika menjadi drakula atau binatang buas yang rakus mengembat uang rakyat, ini yang namanya tragedi. Meski menggugat peran agama dalam pemberantasan korupsi, tulisan ini tidak berpretensi untuk menggeser peran hukum positif. Agama berperan di hulu, sedangkan hukum di hilir. Jelasnya agama lebih berperan sebagai early warning system agar orang jangan korupsi. Adapun hukum seharusnya ditegakkan untuk menghukum para koruptor. Bukan malah hukum dimanipulasi untuk menyelamatkan para koruptor.

Hukum hanya mau berani menghukum wong cilik yang mencuri semangka atau buah kakao, sedangkan hukum tak mampu menghukum para mafia hukum, mafia pajak, mafia hutan, dsb. Harus ada tekanan publik atau suara rakyat agar reformasi hukum segera beranjak dari wacana menuju ke kenyataan, sekaligus agar praksis beragama bisa beranjak menuju ke perubahan mentalitas.

Bangsa Indonesia harus bisa segera melakukan rekonstruksi peradaban untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman dan bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju. Hal ini sangat diperlukan mengingat moral dan nalar bangsa ini sudah berada dalam kondisi krisis yang amat gawat akibat kian suburnya praktik korupsi. Kamis pekan lalu umat kristiani merayakan Kenaikan Yesus ke surga.

Dalam perspektif iman Kristen, Yesus yang berasal dari surga pernah turun ke dunia, lalu kembali lagi naik ke surga. Selama tiga tahun misinya di dunia (mulai umur 30–33 tahun) Yesus menawarkan Injil atau kabar baik serta ingin para pendengarnya bisa menciptakan surga kebaikan bagi sesamanya. Surga bukan suatu keadaan pada suatu masa di depan, tetapi surga sebenarnya sudah bisa dimulai‚ hic et nunc (di sini dan sekarang) di dunia ini.

Sayang surga itu tidak akan terjadi di negeri kita jika struktur tak adil yang menindas atau mentalitas cari untung sendiri lewat korupsi terus dijadikan gaya hidup atau mentalitas. Mentalitas culas seperti ini hanya akan mengagungkan keyakinan “Keuangan Yang Mahakuasa“ (meminjam istilah Kardinal Mgr Julius Darmaaatmadja), sementara iman sejati pada “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” terpinggirkan atau sekadar dijadikan topeng penutup kemunafikan.

Namun belum terlambat untuk memulai sebuah kehidupan yang bersih dan jujur tanpa korupsi. Bersih dan jujur adalah ciri utama kehidupan surgawi. Adapun korupsi sekali lagi hanya menciptakan neraka bagi sesama. Mari kita lawan korupsi sehingga surga bisa kita upayakan di dunia ini mulai saat ini, meskipun surga final masih harus kita nantikan. (oke)


Oleh: Tom Saptaatmaja, Teolog dan Kolumnis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar