jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Rabu, 13 April 2016

Taujih Ust. Musyafa A.R : Hati-Hati dengan "Wewenang"

Tersebut dalam hadits muttafaqun ‘alaih (Bukhari [1496, 4347] dan Muslim [19]) bahwa Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal – radhiyallahu ‘anhu – (20 SH – 18 H = 603 – 639 M) ke Yaman, untuk melaksanakan tugas dakwah di satu sisi, dan sebagai amil zakat, di samping tugas-tugas yang lainnya.

Ada banyak point “taujih” penugasan yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepadanya, dan sudah banyak buku, syarah dan kajian yang mengulas makna mendalam dari setiap point “taujih” Rasulullah SAW tersebut.

 Di antara point taujih yang perlu mendapatkan pendalaman adalah “peringatan” beliau SAW kepada Mu’adz (RA) sebagai berikut:

«... فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ، فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ المَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ»

«… Maka, jika mereka telah taat kepadamu untuk hal itu, maka berhati-hatilah terhadap harta mereka yang mulia, dan takutlah kamu terhadap do’a orang yang terzhalimi, sebab tidak ada hijab (penghalang) antara do’a orang yang terzhalimi dengan Allah SWT».

Menarik untuk didalami karena memberi pengajaran sebagai berikut:

1. Bahwa, penduduk Yaman, tempat Mu’adz bin Jabal (RA) bertugas, telah diasumsikan bahwa mereka telah taat kepada Mu’adz bin Jabal. Istilah dalam hadits: fain hum atho’u laka lidzalika. Intinya, mereka telah menjadi manusia-manusia muslim yang bersyahadat, menegakkan shalat, membayar zakat dan... telah taat kepada Mu’adz bin Jabal (RA) sebagai da’i dan petugas Rasulullah SAW.

2. Meskipun mereka telah bersyahadat, shalat, membayar zakat dan taat, Rasulullah SAW tetap memperingatkan Mu’adz bin Jabal (RA): jangan sampai Mu’adz (RA) menzhalimi mereka.

MasyaAllah...

Mu’adz (RA) menzhalimi mereka??!!

Bukankah Mu’adz (RA) adalah sahabat nabi yang paling mengerti tentang halal dan haram, sebagaimana disabdakan beliau SAW dalam hadits lain??!!

Dengan kapasitas sebagai sahabat nabi yang paling mengerti tentang halal dan haram, masih perlu diperingatkan: jangan sampai menzhalimi mereka??!!

MasyaAllah...

Sebuah point “taujih” nabawi yang benar-benar perlu direnungkan!!

3. Yang paling menarik untuk direnungkan (menurut saya, meskipun semua point “taujih” Rasulullah SAW pasti menarik), adalah adanya sabda beliau yang menyatakan: وَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ (berhati-hati lah kamu wahai Mu’adz dengan 'karaima amwalihim' yang dipandang mulia oleh mereka sebagai harta mereka)!!

Bayangkan saja .. (sekali lagi):

a. Bukankah mereka telah bersyahadat, shalat dan siap untuk membayar zakat??!!

b. Bukankah mereka telah taat kepada Mu’adz??!!

Yang dapat dipahami dari istilah "karaima amwalihim" adalah, misalnya: salah seorang dari mereka, misalnya saja mempunyai 40 ekor kambing, atau 121 ekor kambing.

Bagi yang mempunyai 40 ekor kambing, dia berkewajiban membayar zakat satu ekor kambing.

Dan bagi yang mempunyai 121 ekor kambing, dia berkewajiban membayar zakat dua ekor kambing.

Pertanyaannya?

Satu atau dua ekor kambing yang menjadi bayaran zakat itu kambing yang mana dari 40 atau 121 ekor kambing itu??

Karaima amwalihim itu adalah kambing yang terbaik dari 40 ekor kambing itu atau dua ekor kambing dari 121 ekor kambing itu.

Terbaik (mulia) itu bisa dari sisi gemuknya, bisa jadi dari sisi suburnya, bisa dari sisi gagah dan menarik penampilannya, dan bisa dari sisi lainnya, hal yang sangat diketahui oleh si pemilik kambing, dan bisa jadi juga sangat diketahui oleh Mu’adz bin Jabal (RA).

“Taujih” Rasulullah SAW memberi arahan kepada Mu’adz bin Jabal (RA) bahwa dia TIDAK BOLEH mengambil yang karaima amwalihim itu.

Artinya, biarlah SI PEMILIK KAMBING yang terkena wajib zakat itulah yang memilihkan untuk Mu’adz (RA) kambing yang mana yang menjadi “bayaran” zakat-nya, bukan Mu’adz (RA) sendiri yang memilih dan mengambil kambing “bayaran” zakat itu.

Yang menarik dan sekaligus MENGERIKAN adalah manakala Mu’adz bin Jabal (RA) sendiri yang memilih dan mengambil kambing tertentu sebagai “bayaran” zakat, dan bisa jadi yang dipilih dan diambilnya masuk kategori “KARAIMA AMWALIHIM” menurut sudut pandang si pemilik kambing yang menjadi “wajib zakat”itu, jika demikian halnya yang terjadi, maka Mu’adz bin Jabal (RA) telah masuk dalam kategori “MENZHALIMI” si “wajib zakat”, dan jika si “wajiba zakat” tidak terima, lalu dia berdo’a, tentunya mendo’akan negative terhadap Mu’adz (RA), maka do’a negative si “wajib zakat” terhadap Mu’adz (RA) akan langsung terangkat kepada Allah SWT dengan tanpa hijab atau penghalang apapun.

Inilah point penting dan sekaligus mengerikan dari sekian banyak point “taujih” Rasulullah SAW kepada Mu’adz bin Jabal (RA).

Padahal, kalau dipikir-pikir, bukankah Mu’adz bin Jabal (RA) adalah:

a. Da’i dan sekaligus murabbi penduduk Yaman itu?

b. Bukankah Mu’adz bin Jabal (RA) adalah Petugas Rasulullah SAW? Dan tentunya, petugas yang mengantongi sekian banyak wewenang dari Rasulullah SAW!!

c. Bukankah Penduduk Yaman adalah mad’u dan mutarabbi Mu’adz bin Jabal (RA)?

d. Bukankah Penduduk Yaman adalah mad’u dan mutarabbi Mu’adz bin Jabal (RA) yang telah mendalami “ma’rifatusy-syahadatain”, “ma’rifatush-shalat” dan “ma’rifatuz-zakat”?!

e. Bukankah Penduduk Yaman adalan mad’u dan mutarabbi yang telah taat kepada Mu’adz bin Jabal (RA), taat kepadanya sebagai da’i mereka, murabbi mereka dan atasan atau pimpinan mereka? Sebab saat Mu’adz (RA) datang ke sana, datang dengan membawa wewenang dari Rasulullah SAW, nabi mereka??

Jadi, “taujih” nabawi terkait penugasan Mu’adz (RA) memang memberi wewenang besar kepada Mu’adz (RA), namun, “taujih” nabawi itu ditutup dengan peringatan: JANGAN DENGAN ALASAN MEMPUNYAI WEWENANG, LALU SEWENANG-WENANG, ingat.. fainna da’watal mazhlumi laisa bainaha wa bainaLlahi hijab (tidak ada penghalang antara do’a orang yang terzhalimi dengan Allah SWT).

Ya Allah...

Jauhkanlah kami dari segala bentuk kezhaliman, Aamiin...


Sumber: PKS Abadi Jaya Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar