SEMARANG, PKS Jateng Online
– Bank Perkreditan Rakyat (BPR)—Badan Kredit Kecamatan (BKK) diminta
untuk fokus pada penyaluran kredit yang sifatnya produktif kepda
masyarakat. Hal tersebut disampaikan oleh anggota Komisi C Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, Jamaluddin, dalam
keterangannya pada Jumat (15/4/2016).
Menurut
Jamal fokus BPR-BKK pada penyaluran kredit produktif tersebut adalah
dalam upaya membantu meningkatkan ekonomi masyarakat kecil, sesuai
dengan arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Tahun 2015 rasio kredit
produktif BPR BKK se-Jateng sebesar 59,27 persen, ini masih perlu
didorong lagi,” katanya.
Lebih
lanjut, Jamal menyampaikan bahwa dengan adanya kredit produktif, akan
mendorong pergerakan sektor riil di masyarakat. “Sehingga, kami meminta
agar ekspansi kredit BPR BKK harus diarahkan ke sektor tersebut,"
tandas legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jateng ini.
Dikatakan Jamal, saat ini peran BPR BKK sangat penting dalam intermediasi keuangan, khususnya kepada golongan ekonomi lemah. “Berbeda dengan Bank Umum, BPR BKK sebaiknya lebih fokus melayani kebutuhan masyarakat kecil, seperti petani, peternak, nelayan, pedagang, dan pengusaha kecil yang belum dijangkau oleh bank umum serta sebagai upaya mewujudkan pemerataan layanan perbankan dan kesempatan berusaha,” jelasnya.
Sebagai
informasi, berdasarkan laporan Biro Perekomian Jateng angka penyaluran
kredit produktif BPR BKK meningkat dalam 3 tahun terakhir. Tahun 2013
kredit produktifnya sebesar 2,93 trilun atau 55,31 persen kemudian
meningkat pada 2014 menjadi 3,55 triliun atau 59,39 persen, dan pada
2015 meningkat lagi hingga 3,90 triliun.
“Dari
tahun ke tahun ada peningkatan kredit produktif yang di salurkan BPR
BKK, saya sangat mengapresiasi hal ini, namun perlu ditingkatkan
lagi,” imbuh dewan asal daerah pemilihan VI Jateng ini.
Di
sisi lain, Jamal menyebut bahwa kredit konsumsi memang tidak bisa
dihilangkan sama sekali dari BPR BKK karena beberapa kebutuhan mendesak
dalam pembiayaan dan mengantsipasi kredit macet atau NPL.
“Penyaluran
kredit konsumtif merupakan strategi yang dipilih karena pertimbangan
risiko yang mereka nilai lebih rendah serta return yang tinggi,” kata
Jamal.
Kredit
konsumtif, imbuhnya, biasanya disalurkan BPR BKK kepada para pegawai,
baik di instansi pemerintah atau swasta, yang pengembaliannya diangsur
dengan potong gaji setiap bulan. Karena ada jaminan potong gaji, banyak
BPR BKK lebih menyukai cara ini untuk menekan non performing loan (NPL).
“Pandangan semacam itu biasanya mengesampingkan penyaluran dana ke
usaha-usaha produktif yang dinilai lebih berisiko,” paparnya.
Sementara,
kredit produktif sendiri memang akan akan menambah resiko NPL karena
pengembalian kredit dari masyarakat tidak pasti. “Untuk mengatasi
resiko kredit macet pada penyaluran kredit produktif, BPR BKK bisa lebih
selektif lagi dalam melihat calon debitur dan prospek usaha yang
dibangun,” ujarnya.
Saat
ini, jika dilihat dari data Biro Perekonomian Jateng terdapat beberapa
BPR BKK yang kredit produktifnya sudah bagus seperti di Kabupaten Sragen
mencapai 409,4 miliar atau rasionya 89,29 persen, begitu juga di
Kabupaten Banjarnegara 264,1 miliar dengan rasio 79,04 persen Namun ada
sebagian yang masih minim kredit produktifya di bawah 30 persen, seperti
di Kota Semarang 12,70 persen, Kota Salatiga 14,60 persen, dan Kota
Pekalongan 18,06 persen.
“Untuk
BPR BKK yang sudah bagus kredit produktifnya perlu diapresiasi. Pemrov
dan Pemkab harus berani menambah modalnya pada BPR BKK tersebut, semakin
banyak modal yang distorkan akan sangat membantu BPR BKK dalam menambah
kredit yang akan disalurkan ke usaha-usaha mikro masyarakat,” tutupnya. (Ped)
Sumber: PKS Jateng Online
Sumber: PKS Jateng Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar