Beberapa saat lalu di negeri para nabi, berhembus sosok yang memberikan angin segar dan berjuta harapan buat rakyatnya. Sosok itu adalah Presiden Mursi, Presiden pertama mesir yang menang secara demokratis. Contoh presiden yang setiap gerak-geriknya membuat kita terperangah, kagum dan tentunya merindukan sosok pemimpin seperti itu. Bayangkan saja, Presiden Mursi tidak mau mengambil gajinya. Ia menyumbangkan gajinya untuk pembangunan negaranya, sementara Presiden kita malah sibuk meminta naik gaji. Ketika iring-iringan Presiden Mursi melewati jalan umum, tidak menimbulkan kemacetan dijalanan. Berbeda sekali dengan indonesia, jangankan seorang Presiden, pembantu presiden sekalipun acap kali membuat pengguna jalan gerah. Baru ingat kalau ada 3 (tiga) orang pembantu presiden itu ada yang berasal dari PKS, ditambah lagi, kalau tidak salah ada juga beberapa Gubernur, Walikota atau Bupati dari partai dakwah ini yang sudah dikuasai. Tapi… Sedih dan mulai berembun rasanya hati ini. Kenapa kesederhanaannya tidak tampak atau diberitakan? Apakah Harapan itu memang benar masih ada?
Sempat berfikir untuk pergi dan teriak kesemua orang, “Woi… Keluar dari PKS yuk!!” untuk apa kita disini? Ini partai udah enggak benar. Para kadernya sudah jumawa dengan kekuasaan yang diberi. Coba lihat betapa Heroiknya Menteri BUMN, Dahlan Iskan dengan sepatu sederhananya, Naik ojek buat rapat kabinet, atau coba kita lihat Jokowi yang luar biasa berhasil memimpin Solo. Hampir semua masyarakat solo bersedih saat Jokowi berencana meninggalkan solo. Ia begitu dicintai masyarakatnya. Sekali lagi, dimana para kader-kader PKS? Apa memang enggak ada di PKS yang seperti Presiden Mursi, atau kalaupun kejauhan minimal seperti Dahlan Iskan dan Jokowi-lah. Ada Gak?? Ternyata memang TIDAK ADA. Maksudnya tidak hanya ada satu atau dua. Tetapi di PKS masih ada banyak orang-orang seperti mereka, di PKS banyak yang sederhana dan luar biasa tapi PKS bukanlah partai yang memiliki Media Electronic, sehingga tentu ini bukanlah berita menarik makanya tidak ada yang mau meng-ekspose, sehingga kita tidak pernah tahu.
Salah satu kader terbaik PKS adalah Ustd. Hidayat Nur Wahid. Banyak cerita tentang kiprah beliau. Ia adalah sosok negarawan yang memang layak menjadi bagian untuk memimpin Negeri Indonesia Raya ini. Kesederhanaan beliau bukan hanya ditampakkan sebagai pencitraan saat Pilkada saja, tapi sudah jauh dari dahulu beliau lakukan. Pernah Sekitar Tahun 2007, Pak Dayat, panggilan akrab Ust. Hidayat Nur Wahid menjadi salah satu narasumber di sebuah kampus negri di Jawa Tengah. Kapasitas beliau saat itu adalah sebagai ketua MPR. Dialog yang berlangsung hangat tiba-tiba senyap dan terhenti ketika ada bunya Handphone.Tit..tit..tit..tit, seketika hadirin dan para wartawan terhenyak dan para jurnalis segera mengambil gambar dan mendekat ke arah sumber suara yang ternyata adalah bunyi HP dari Pak Dayat. Seorang Ketua MPR, dengan Hand Phone sangat sederhana dan terkesan Jadul.
Dan Cerita tentang Hanphone Pak Dayat ini pun berlanjut, seperti diceritakan Ust. Cahyadi Takariawan “Sangat banyak kisah kehidupan keseharian pak Hidayat. Salah satunya saya dapatkan dari seorang teman yang pernah menjadi asisten beliau saat menjadi Ketua MPR. Teman ini bercerita, suatu ketika diminta pak Hidayat membelikan lem alteco. Tanpa bertanya kegunaan lem tersebut, sang asisten langsung pergi membelikan. Setelah lem diserahkan ke pak Hidayat, sang asisten penasaran, digunakan untuk apa lem tersebut. Maka diam-diam ia mengintip ke ruang kerja pak Hidayat.
Betapa terkejut sang asisten menyaksikan pak Hidayat menggunakan lem tersebut untuk memperbaiki casing HP beliau yang retak karena terjatuh. Ia tidak menyangka, seorang politisi senior, seorang Ketua MPR, masing mengurus casing HP yang pecah. Bukan membeli casing baru, atau membeli HP baru, namun membeli lem untuk memperbaiki casing yang pecah. Kejadian seperti ini tentu tidak menarik untuk diberitakan di media. "
Coba kita bertanya kepada orang yang melihat langsung Pak Hidayat di tempat-tempat umum. Sering para penumpang pesawat merasa terkejut ketika melihat Pak Hidayat naik pesawat yang sama di kelas ekonomi. Pak Hidayat juga menolak menggunakan mobil Volvo sebagai kendaraan dinas dari negara. Beliau memilih mengendarai mobil pribadinya sendiri, Toyota Kijang tahun 2002.Pak Hidayat adalah pejabat tinggi yang mau tidur di lantai beralas tikar. Beliau melakukannya setiap kali mengunjungi ibunda di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebondalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Klaten Jawa Tengah. ”Mas Nur tidak mau tidur di hotel”, kata Septi Swastani Setyaningsih adik bungsu Pak Hidayat yang memanggil kakaknya Mas Nur itu. Pak Hidayat memilih tidur di rumah sederhana seluas 15 m x 10 m yang ditempati Nyonya Siti Rahayu, 70 tahun, ibunda beliau. Tidak ada pernik kemewahan di dalamnya. Ruang tamu hanya diisi satu meja kursi. Di ruang keluarga hanya ada televisi 14 inchi. Dan kejadian seperti tentu bukan berita yang menarik untuk dikemas dimedia.
Mari kita flashback lagi ketika gempa mengguncang jogya dan menewaskan ribuan jiwa. Ada kisah yang yang tentunya tidak terlupakan disana. Siang yang terik itu tak mengurangi antusiasme warga Pleret Bantul berkumpul di lapangan Pleret. Apa yang membuat mereka begitu antusias mendatangi lapangan? Hari itu, ada tamu istimewa yang hadir ke desa mereka di Pleret Bantul. Tamu itu adalah Hidayat Nur Wahid, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pak Hidayat akan berkunjung ke desa yang terkena dampak gempa sangat parah di Jogya sekaligus peletakan batu pertama pembangunan rumah bantuan dari donatur. Masyarakat begitu merindukan kehadiran pejabat negara yang memang juga berasal dari daerah yang dekat dengan lokasi mereka. Menurut berita, Keluarga beliau yang di Klaten juga terkena musibah gempa.
Siang makin terik, masyarakat tak juga melihat ada tanda-tanda seorang pejabat negara datang. Tiba-tiba saja, bunyi mikrophone dari tengah lapangan berbunyi.
“Yang Terhormat, Ketua MPR, Bapak Hidayat Nur Wahid selamat datang di desa kami.”
Suara pembawa acara sudah bergema sampai terdengat sekitar 25 m dari tempat acara yang berada di tengah lapangan.
“Loh, sudah datang, toh. Kapan datangnya?”
“Sudah lima belas menit lalu, Pak” yang lain menimpali pertanyaan seorang bapak tua yang dari tadi menunggu kedatangan Ketua MPR itu.
“Loh, biasanya ada sirine dan banyak polisi toh. Lah, ini seperti tidak ada apa-apa.”
Bapak tua itu heran karena biasanya selalu ada kehebohan kendaraan pengawal dan rombongan pejabat lainnya yang mengiringi. Ternyata Pak Hidayat menaiki mobil biasa tanpa pengawalan. Bahkan Camat Pleret sampai tergopoh-gopoh mengejar Pak Hidayat karena keduluan ketua MPR datangnya.
Acara diadakan di tengah lapangan. Para pejabat disediakan kursi empuk sementara warga hanya duduk lesehan beralaskan tikar. Ketika giliran Pak Hidayat memberi sambutan, beliau kemudian turun dari kursinya dan duduk lesehan.
“Maaf bapak Ibu, bukannya saya tidak menghargai, supaya kita lebih dekat. Saya duduk nggih.” Begitulah perkataan yang bisa ditangkap dari obrolan beliau dengan warga dalam bahasa jawa yang sangat halus. Akhirnya pejabat dan tokoh masyarakat yang mendampingiUstd Hidayat ikut lesehan. Jadilah kursi empuk yang disediakan panitia jadi kosong melompong.
Subhanallah, tentu kita kagum dengan sikap sederhana beliau. Datang tidak mau merepotkan dan ketika diberi fasilitas beliau memilih fasilitas yang sama dengan warga. Lagi-lagi, kejadian seperti ini tidak pernah masuk pemberitaan media massa. Kehidupan beliau sangat sepi dari publisitas. Beliau melakukan segala aktivitas secara alami, tanpa kemasan branding, atau menyewa konsultan untuk memperbaiki penampilan atau membayar media planner untuk mengatur tampilan beliau di media. Semua berjalan sangat alami, tanpa sentuhan entertainment. Pemimpin seperti inilah yang sebenarnya dirindukan oleh negara ini. Pernah di Konsolidasi Kader Se-Jakarta Utara, Pak Hidayat pernah berujar terkait pencalonannya sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta. Banyak para pengamat dan tokoh di negara ini yang mengatakan kenapa saya bersedia menerima amanah ini dari Partai, inikan namanya turun gunung. Dengan santai Pak Hidayat menjawab, “Saya tidak sama sekali turun gunung karena selama ini saya tidak merasa pernah naik gunung”. Sungguh, sangat beruntung bila warga jakarta mendapat sentuhan kesederhanaan pemimpin seperti ini. Ingin rasanya berteriak sekali, Woi.. Ayuk keluarrrr.. kita usahakan Pak Hidayat benar-benar jadi Gubernur DKI Jakarta!! Allahuakbar 3 x !!
Oleh: Hudhafah As-Sahmi
Sumber: Zilzaal.Blog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar