jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Jumat, 08 Juni 2012

Oleh Muhammad Jamhuri*
Pengasuh Pesantren MULTAZAM Bogor




سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِي

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “
(QS. Al-Israa: 1)

Mengapa Allah swt memulai ayat ini dengan kata “subhanalladzi” (Maha Suci Alllah)? Jawabannya adalah agar kita menyikapi peristiwa Isra Mi’raj ini dengan pendekatan iman, bukan dengan pendekatan logika. Sebab, jika dengan pendekatan logika maka akan sulit dinalar oleh akal untuk suatu peristiwa Isra Mi’raj yang jaraknya jauh itu hanya dilakukan dalam waktu semalam saja. Orang-orang Quraisy menempuh perjalanan Makkah-Jerussalem biasa memakan waktu tidak kurang dari sepuluh hari.

Dengan pendekatan iman, maka kita akan mudah menerima peristiwa mukjizat ini. Karena tidak ada yang tidak mungkin di tangan Allah swt . Firman Allah swt, “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia“ (QS. Yasin: 82)

Penjelasan ini dikuatkan dengan kata berikutnya, “asraa” (Yang memperjalankan di malam hari). Dalam tata bahasa Arab, kata “asraa” merupakan fi’il maziid (kata kerja yang ditambahkan huruf), asalnya adalah “saraa-yasrii” (berjalan malam). Kata “saraa-yasrii” adalah bentuk fi’il lazim (kata kerja yang tidak membutuhkan objek). Kemudian ditambah dengan hamzah al-qoth’i di awal kata itu menjadi “asraaa’, sehingga berubah menjadi fi’il muta’addi (kata kerja yang membutuhkan objek/maf’ul-bih). Dengan demikian, pada dasarnya perjalanan Nabi saw pada peristiwa ini bukanlah berjalan dengan sendirinya. Akan tetapi beliau diperjalankan oleh Allah swt.

Pada ayat di atas berariti subjeknya adalah Allah, dan objeknya adalah Nabi Muhammad saw. Sehingga, pada hakekatnya Allah-lah yang memperjalankan beliau di malam hari, bukan jalan dengan kemampuan Nabi sendiri.

Ibarat kisah dua semut. Semut pertama menempel di baju seseorang, sehingga saat baju itu dipakai, semut itu terbawa kemana-mana hingga ke tempat yang jauh mengikuti sang pemilik baju, lalu tiba sebelum malam. Tatkala semut itu turun dari baju dan bertemu semut lainnya, ia bercerita bahwa ia sudah berjalan-jalan ke tempat anu dan anu yang jauh. Tentu saja, jika semut yang kedua berpikir dengan logika semut, maka semut itu tidak mungkin berjalan ke tempat yang jauh, dan kembali sebelum matahari terbenam, sementara langkah-langkah semut begitu kecilnya. Akan tetapi permasalahannya adalah, semut itu bukan jalan sendiri, tapi diperjalankan oleh seorang yang memiliki baju yang telah dihinggapi semut tersebut..

Selanjutnya, Allah swt dalam ayat al-Israa ini menyebut kata “bi ’abdihi” (memperjalankan hambanya). Mengapa tidak menggunakan kata “bi rosulihi”? (memperjalankan rasul-Nya)? Hal ini menunjukkan adanya “isytirok” atau “musyarakah” atau kesertaan siapapun dari hamba Allah yang ingin mendapat derajat seperti Rasulullah saw ber-mi’roj. Jadi siapa saja yang telah menyembah Allah dengan sebenar-benarnya penghambaan, totalitas hidupnya hanya untuk mengabdi kepada Allah, maka ia dapat bermi’roj (naik) ke hadapan Allah, meskipun tidak secara fisik. Oleh sebab itu, Rasulullah saw bersabda, “Ash-Sholatu Mi’rojul Mukminin” (Sholat adalah mi’roj-nya orang-orang beriman).. Jadi, mi’roj bisa dilakukan semua hamba Allah swt yang totalitas hidupnya hanya mengabdi demi dan untuk Allah swt.

Kata berikutnya adalah “Lailan” (di malam hari). Mengapa Allah swt menyebut kata “lailan” ini?, padahal kata “saraa” atau “asraa” sudah mengandung makna berjalan di malam hari?. Hal ini untuk memberi pesan, bahwa jika seseorang ingin connect dan online dengan Allah swt tanpa ada gangguan “sinyal”, maka waktu yang tepat adalah beribadah di malam hari melalui qiyamullail atau sholat malam/tahajjud. Firman Allah swt, “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan” (QS. Al-Muzammil: 6). Betapa banyak wahyu yang Allah turunkan di malam hari? Termasuk wahyu yang pertama surat al-’Alaq 1-5 yang diturunkan saat malam Ramadhan di gua Hira. Begitu pula dengan surat al-Muddatstsir yang merupakan wahyu kedua yang Allah turunkan.

Dan seseorang yang rajin melaksanakan shalat tahajjud, maka ia mendapat kedudukan yang terpuji. Firman Allah swt: “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji “ (QS. Al-Israa: 79).
Berikutnya, Allah swt menyebut dua masjid; Masjidl Haram dan Masjidil Aqsha. Mengapa? Untuk mengantarkan kepada kita agar hati kita selalu terpaut dengan masjid. Di mana pun kita berada, hendaknya hatinya terpaut dengan masjid. Maksudnya adalah sesibuk apapun kita, di manapun kita berada, usahakanlah saat-saat shalat fardhu di lakukan di masjid. Sehingga jika kita sedang di jalan tol misalnya, lalu datang waktu shalat, maka hendaknya kita sholat di masjid di rest Area. Karena dalam tiap langkah ke masjid akan dihapus satu dosa dan diangkat satu derajat.

Rasulullah saw dalam sebuah hadits menyebutkan bahwa salah satu golongan yang akan mendapat naungan di hari Kiamat yang tidak ada naungan kecuali nanungan Allah, adalah rojulun qolbuhu mu’allaqun bil masajid (seorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid). Ada dua kemungkinan makna hati yang terpaut dengan masjid ini. Pertama, orang itu tetap di masjid menunggu shalat setelah shalat (intizhar sholat ba’da shalat). Kedua, boleh jadi orang itu keluar dan melakukan aktifitas sehari-hari, namun setiap mendekati waktu shalat, dia bersiap-siap untuk melaksanakannya di masjid,, bukan di rumah, kantor atau lainnya.

Pesan kedua adanya penyebutan masjidil Aqsha pada ayat ini adalah, seakan ayat ini berpesan bahwa masjidil Aqsha adalah bagian dari sejarah peninggalan umat Islam. Dia adalah tempat di-israami’roj-kannya Nabi saw, dan dia juga merupakan kiblat pertama kaum muslimin. Sehingga keberadaan dan nasib masjid itu merupakan tanggung jawab seluruh kaum muslimin, dan bukan hanya menjaidi tanggung jawab bangsa Palestina saja. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang tidak memperdulikan urusan kaum muslimin, maka dia bukan termasuk golongan mereka.” (al-hadits).

Jika kita tidak bisa berjihad secara fisik membebaskan Masjidil Aqsha, maka hendaklah berjuang dengan harta kita. Jika masih belum dapat membantu dengan harta, maka paling tidak kita membantu mereka dengan doa-doa. Adakah kita pernah mendo’akan mereka?

Selanjutnya Allah swt menyebut kata “alladzi baarokna haulahu” (yang Kami berkahi sekelilingnya). Para ulama menyebut bahwa bentuk keberkahan Juressalem dan daaerah sekitarnya adalah bahwa di tanah itu banyak diutus para Nabi dan Rasul. Imam al-Syafi’i menyebut bahwa keberkahan Masjidil Aqsha lebih luas dibanding keberkahan Makkah. Sebab, saat Allah menyebut keberkahan Masjidil Aqsha, Allah menyebutnya dengan ”Baarokna Haulahu” (Kami berkahi sekitarnya). Sedangkan pada saat menyebut Bakkah (Makkah), Allah hanya menyebut “bi bakkata mubaarokan” (di Makkah yang diberkahi) (QS. Ali Imran 96). Oleh sebab itu, Imam Syafi’i lebih menyukai beri’tikaf di Masjidil Aqsha dari pada di Masjidil Haram.

Lalu, di akhir ayat al-Israa ini, Allah berfirman, “Untuk Kami perlihatkan kepadanya (Muhammad) sebagian tanda-tanda kebesaran Kami, sesungguhnya Dia (Allah) Maha Mendengar dan Maha Melihat (mengetahui)”.

Kalimat terakhir pada ayat ini memberi pesan kepada Nabi Muhammad saw dan kita semua agar tidak takut dalam menghadapi menjalankan tugas dakwah, karena backingnya adalah Allah yang Maha Kuasa, dan Dia melihat dan mendengar kita, tidak membiarkan kita sendirian.

Sebab turunnya ayat ini adalah, pada tahun kedelapam kemabian, Rasulullah mengalami musibah yang membuat beliau merasakan kesedihan. Sehingga tahun itu dalam kitab-kitab tarikh disebut ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan). Sebab, pada tahun itu beliau berturut-turut ditinggal mati oleh dua orang yang sangat dicintainya dan menolong dakwahnya, yaitu Khadijah binti Khuwailid sang isteri tercinta, dan paman beliau bernama Abu Thalib.

Keduanya berpihak membela dan membantu dakwah Rasulullah saw. Mereka adalah pemuka Quraisy yang sangat disegani oleh kaumnya.

Nah, dengan kematian mereka, Rasulullah saw merasa berdakwah sendiri. Tidak ada lagi yang dapat menolong beliau dari intimidasi kaum Quraisy dan beliau mengkhawatirkan dakwahnya dan para pengikutnya.

Untuk menghibur Nabi saw dan menguatkan hatinya itulah, Allah swt ‘mengundang’ Nabi saw melihat-lihat kekuasan-Nya menyaksikan tanah Jerussalem tempat banyak nabi diutus di sana, bahkan nabi diperlihatkan ciptaan Allah yang spektakuler, yaitu berupa planet dan galaksi yang teratur rapi, bahkan beliau bisa naik ke langit yang ketujuh.

Hal ini seakan memberi pesan, “Hai para da’i, janganlah engkau takut pada orang-orang durjana, engkau berjuang tidak sendiri, engkau akan dibela dan ditolong Allah swt yang memiliki kekuasan di langit dan di bumi. Allah tidak membiarkan engkau berjuang sendiri, tapi Allah tetap memantau, melihat dan mendengar segala aduanmu. Oleh karena itu, janganlah engkau bersedih, meskipun harus ditinggal oleh orang-orang yang engkau cintai dan telah membantu engkau.”

Perjalanan rohani Isra Mi’rtaj ini menambah spritual dan kestabilan jiwa Rasulullah saw dalam melanjutkan tugas dakwahnya. Begitupun bagi siapa saja yang ingin kestabilan jiwa, hendaklah mendekatkan Allah di malam hari. Karena hanya dengan mengingat Allah sajalah hati akan stabil (tenang). “Ketahuliah, hanya dengan mengingat Allah hati akan tenang.” (QS.Al-Ra’d: 28).

Wallahu a’lam bish-showab.

*http://muhammadjamhuri.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar