Sabtu dan Ahad kemarin (16-17 Juni)
merupakan hari yang sangat menentukan bagi masa depan Mesir. Dalam dua
hari tersebut masyarakat Negeri Seribu Menara itu pergi ke bilik-bilik
pemilihan untuk menentukan presiden yang akan datang pascakejatuhan
rezim Husni Mubarak.
Pemilu presiden yang dianggap paling demokratis dalam sejarah Mesir ini merupakan putaran kedua. Mempertandingkan dua calon presiden, Muhammad Mursi dan Ahmed Shafiq. Hasil pemilu secara resmi akan diumumkan pada 21 Juni mendatang. Proses yang menyertai pemilu Mesir kali ini bisa dikatakan sangat dramatis.
Dua hari sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan keputusan untuk membubarkan parlemen (DPR/Majlis Sya'b) dan MPR (Majlis Syuro), mencabut larangan para pejabat tinggi era Mubarak ikut pemilu presiden, dan membatalkan se mua undang-undang produk parlemen. Padahal, pemilu parlemen baru diselenggarakan akhir tahun lalu dan merupakan pemilihan yang demokratis pertama pascarezim Mubarak.
Yang jadi persoalan mungkin lantaran lebih dari 70 persen suara, baik di DPR maupun MPR, dimenangkan oleh partai-partai Islam. Tepatnya, Partai Keadilan dan Kebebasan, sayap politik Ikhwanul Muslimin, memper oleh 46 persen suara dan Partai An Noor/Salafi mendapat 24 persen suara. Berbagai pihak di Mesir, terutama para tokoh penggerak revolusi, menuduh keputusan MK tersebut merupakan kudeta terhadap demokrasi, terhadap kehendak rakyat.
Mereka juga menganggap keputusan MK itu sebenarnya untuk meloloskan Jenderal Ahmed Shafiq untuk mengikut pemilihan presiden dan sekaligus menghadang capres dari kelompok Islamis. Shafiq merupakan perdana menteri terakhir Mubarak dan ikut mendampingi hari-hari terakhir kejatuhan sang presiden. Ia juga pernah menjabat kepala angkatan udara Mesir.
Tuduhan itu semakin diperkuat dengan adanya fakta bahwa Mahkamah Konstitusi Mesir yang sekarang merupakan bentukan Husni Mubarak. Anggotanya pun ditunjuk oleh mantan presiden Mesir itu. Sebelumnya, parlemen Mesir telah mengeluarkan undang-undang yang melarang semua pejabat tinggi era Mubarak untuk mengikuti pemilihan presiden.
Mereka juga telah membuat undang-undang sementara tentang kekuasaan presiden sebelum konstitusi baru yang permanen dibuat dan disahkan parlemen dan presiden terpilih. Dengan pembubaran parlemen dan produknya (undang-undang) maka ketika presiden Mesir nanti terpilih dan Dewan Tinggi Militer yang memegang kekuasaan sementara menyerahkan mandatnya kepada presiden baru pada 1 Juli mendatang, Mesir akan tanpa parlemen yang mengawasi roda pemerintahan. Juga tidak ada undang-undang yang yang mendefinisikan kekuasaan dan kewenangan presiden.
Yang juga tidak kalah dramatisnya adalah proses pemilihan presiden yang kini memasuki putaran kedua. Pada putaran pertama terdapat 13 calon presiden yang ikut kompetisi. Mereka mempresentasikan kelompok-kelompok politik yang terpopularisasi ke macam-macam ideologi dan aspirasi politik sejak kejatuhan rezim Mubarak.
Kelompok status quo alias rezim Mubarak diwakili oleh Amr Musa, Ahmed Shafiq, Husam Khoirullah, dan Abdullah al-Shal. Namun, dari keempat yang berasal dari rezim Mubarak ini hanya dua calon yang menonjol, yaitu Amr Musa dan Shafiq. Amr Musa pernah menjadi Sekjen Liga Arab dan sebelumnya menteri luar negeri Mubarak selama 10 tahun.
Sedangkan Shafiq merupakan perdana menteri terakhir Mubarak hingga ia digulingkan oleh aksi revolusi. Pencalonannya telah menimbulkan kemarahan para aktivis demokrasi. Ia dianggap sebagai antek rezim Mubarak.
Dari kelompok Islamis diwakili oleh Muhammad Mursi. Ia merupakan pimpinan Ikhwanul Muslimin dan sayap politiknya, Partai Keadilan dan Kebebasan. Sebelumnya, ia hanyalah calon cadangan. Namun, ketika calon utama mereka, Khairat alShatir, kalah dalam upaya banding terhadap keputusan diskualifikasi pertengahan April lalu, nama Mursi pun dimunculkan sebagai calon utama.
Kelompok Islamis lainnya adalah Abdul Mun'im Abul Futuh. Meskipun yang terakhir ini merupakan mantan pimpinan Ikhwanul Muslimin, pencalonannya melalui jalur independen. Dalam kampanyenya, ia mengatakan perlunya liberalisasi Mesir.
Calon lainnya adalah Muhammad Salim alAwwa, pemikir Islam dan akademisi. Berikutnya, Hamdin Sobbahi, pendiri Partai Al Karamah, pendukung ideologi nasional Nassirisme. Lalu Khalid Ali, tokoh muda dan pegiat hak asasi serta kuasa hukum buruh. Namun yang masuk putaran kedua adalah Muhammad Mursi dan Ahmad Shafiq. Pada putaran pertama, Mursi memperoleh 24,8 persen suara dan Shafiq meraih 23,7 persen suara.
Mengikuti drama dan peristiwa yang terjadi sejak kemenangan aksi revolusi rakyat pada Januari tahun lalu, tampaknya kehidupan politik dan keamanan Mesir belum akan stabil dalam waktu dekat. Sebab, siapa pun pemenangnya, gugat menggugat dan saling menjatuhkan akan terus terjadi. Apalagi gesekan antarkelompok dan ideologi di Mesir pascaMubarak kini semakin tajam.[]
Pemilu presiden yang dianggap paling demokratis dalam sejarah Mesir ini merupakan putaran kedua. Mempertandingkan dua calon presiden, Muhammad Mursi dan Ahmed Shafiq. Hasil pemilu secara resmi akan diumumkan pada 21 Juni mendatang. Proses yang menyertai pemilu Mesir kali ini bisa dikatakan sangat dramatis.
Dua hari sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan keputusan untuk membubarkan parlemen (DPR/Majlis Sya'b) dan MPR (Majlis Syuro), mencabut larangan para pejabat tinggi era Mubarak ikut pemilu presiden, dan membatalkan se mua undang-undang produk parlemen. Padahal, pemilu parlemen baru diselenggarakan akhir tahun lalu dan merupakan pemilihan yang demokratis pertama pascarezim Mubarak.
Yang jadi persoalan mungkin lantaran lebih dari 70 persen suara, baik di DPR maupun MPR, dimenangkan oleh partai-partai Islam. Tepatnya, Partai Keadilan dan Kebebasan, sayap politik Ikhwanul Muslimin, memper oleh 46 persen suara dan Partai An Noor/Salafi mendapat 24 persen suara. Berbagai pihak di Mesir, terutama para tokoh penggerak revolusi, menuduh keputusan MK tersebut merupakan kudeta terhadap demokrasi, terhadap kehendak rakyat.
Mereka juga menganggap keputusan MK itu sebenarnya untuk meloloskan Jenderal Ahmed Shafiq untuk mengikut pemilihan presiden dan sekaligus menghadang capres dari kelompok Islamis. Shafiq merupakan perdana menteri terakhir Mubarak dan ikut mendampingi hari-hari terakhir kejatuhan sang presiden. Ia juga pernah menjabat kepala angkatan udara Mesir.
Tuduhan itu semakin diperkuat dengan adanya fakta bahwa Mahkamah Konstitusi Mesir yang sekarang merupakan bentukan Husni Mubarak. Anggotanya pun ditunjuk oleh mantan presiden Mesir itu. Sebelumnya, parlemen Mesir telah mengeluarkan undang-undang yang melarang semua pejabat tinggi era Mubarak untuk mengikuti pemilihan presiden.
Mereka juga telah membuat undang-undang sementara tentang kekuasaan presiden sebelum konstitusi baru yang permanen dibuat dan disahkan parlemen dan presiden terpilih. Dengan pembubaran parlemen dan produknya (undang-undang) maka ketika presiden Mesir nanti terpilih dan Dewan Tinggi Militer yang memegang kekuasaan sementara menyerahkan mandatnya kepada presiden baru pada 1 Juli mendatang, Mesir akan tanpa parlemen yang mengawasi roda pemerintahan. Juga tidak ada undang-undang yang yang mendefinisikan kekuasaan dan kewenangan presiden.
Yang juga tidak kalah dramatisnya adalah proses pemilihan presiden yang kini memasuki putaran kedua. Pada putaran pertama terdapat 13 calon presiden yang ikut kompetisi. Mereka mempresentasikan kelompok-kelompok politik yang terpopularisasi ke macam-macam ideologi dan aspirasi politik sejak kejatuhan rezim Mubarak.
Kelompok status quo alias rezim Mubarak diwakili oleh Amr Musa, Ahmed Shafiq, Husam Khoirullah, dan Abdullah al-Shal. Namun, dari keempat yang berasal dari rezim Mubarak ini hanya dua calon yang menonjol, yaitu Amr Musa dan Shafiq. Amr Musa pernah menjadi Sekjen Liga Arab dan sebelumnya menteri luar negeri Mubarak selama 10 tahun.
Sedangkan Shafiq merupakan perdana menteri terakhir Mubarak hingga ia digulingkan oleh aksi revolusi. Pencalonannya telah menimbulkan kemarahan para aktivis demokrasi. Ia dianggap sebagai antek rezim Mubarak.
Dari kelompok Islamis diwakili oleh Muhammad Mursi. Ia merupakan pimpinan Ikhwanul Muslimin dan sayap politiknya, Partai Keadilan dan Kebebasan. Sebelumnya, ia hanyalah calon cadangan. Namun, ketika calon utama mereka, Khairat alShatir, kalah dalam upaya banding terhadap keputusan diskualifikasi pertengahan April lalu, nama Mursi pun dimunculkan sebagai calon utama.
Kelompok Islamis lainnya adalah Abdul Mun'im Abul Futuh. Meskipun yang terakhir ini merupakan mantan pimpinan Ikhwanul Muslimin, pencalonannya melalui jalur independen. Dalam kampanyenya, ia mengatakan perlunya liberalisasi Mesir.
Calon lainnya adalah Muhammad Salim alAwwa, pemikir Islam dan akademisi. Berikutnya, Hamdin Sobbahi, pendiri Partai Al Karamah, pendukung ideologi nasional Nassirisme. Lalu Khalid Ali, tokoh muda dan pegiat hak asasi serta kuasa hukum buruh. Namun yang masuk putaran kedua adalah Muhammad Mursi dan Ahmad Shafiq. Pada putaran pertama, Mursi memperoleh 24,8 persen suara dan Shafiq meraih 23,7 persen suara.
Mengikuti drama dan peristiwa yang terjadi sejak kemenangan aksi revolusi rakyat pada Januari tahun lalu, tampaknya kehidupan politik dan keamanan Mesir belum akan stabil dalam waktu dekat. Sebab, siapa pun pemenangnya, gugat menggugat dan saling menjatuhkan akan terus terjadi. Apalagi gesekan antarkelompok dan ideologi di Mesir pascaMubarak kini semakin tajam.[]
REPUBLIKA (18/6/12 Resonansi)
*Tentang Penulis:
Ikhwanul Kiram Mashuri - Sejak lulus dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pria kelahiran Kediri, 5 August 1958 ini memutuskan menggeluti dunia jurnalistik. Kini ia menjadi wartawan senior Harian Republika. Di sela-sela tugasnya sehari-hari sebagai Direktur News dan Konten di Grup Republika, mantan pemred Harian Republika yang juga alumi Pondok Pesantren Modern Gontor ini kerap memberikan siraman rohani, baik di kalangan internal maupun masyarakat luar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar