jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Kamis, 15 Juli 2010

'Temanku, Teroris?', Kisah 2 Alumni Ngruki di Jalan Berbeda

Jakarta. Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki menjadi salah satu pesantren yang banyak dibicarakan oleh publik, baik dalam negeri maupun luar negeri. Stigma negatif mampir ke pesantren ini, karena banyak tersangka dan terpidana kasus terorisme yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren ini. Tapi, Noor Huda Ismail membuka mata banyak orang dengan buku 'Temanku, Teroris?'.

Nama Noor Huda Ismail melambung di tengah-tengah maraknya isu terorisme dalam satu dasawarsa terakhir. Alumnus Pondok Ngruki yang mantan jurnalis Washington Post ini serius menelisik latar belakang, pengusutan, dan dampak-dampak yang terjadi akibat peristiwa-peristiwa pemboman di Indonesia, terutama bom Bali. Hatinya shock saat mengetahui bahwa teman sekamarnya saat berada di Ngruki, Utomo Pamungkas alias Fadlullah Hasan alias Mubarok terlibat dalam kasus pemboman yang sering disebut sebagai kasus terorisme itu.

Kini, Huda mendirikan Yayasan Prasasti Perdamaian, yayasan yang melakukan pendampingan terhadap para mantan pelaku terorisme dan para korban terorisme. Sebelumnya, setelah keluar dari Washington Post dan menamatkan S2 di International Security di St Andrews University, Skotlandia, Huda lebih dikenal sebagai pegiat perdamaian dan menjadi narasumber mengenai isu-isu terorisme.

Dari kerja jurnalistiknya selama menjadi wartawan Washington Post, koran ternama di Amerika Serikat (AS), itu Noor Huda menorehkan kisah-kisah di balik kasus terorisme yang melibatkan Mubarok. Di buku setebal 386 halaman yang diterbitkan oleh penerbit Hikmah, kelompok Mizan, itu Noor Huda menorehkan kisah antara dirinya dan Mubarok dengan menarik, seperti novel.


Ini novel jurnalistik. "Saya mengungkapkan fakta-fakta dan data-data, bukan fiksi," kata Noor Huda dalam peluncuran dan bedah buku 'Temanku, Teroris?' di Gramedia, Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (15/7/2010) kemarin. Dalam acara yang dipandu Tina Talisa, presenter TVOne itu, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono menjadi pembedah buku.

Karena penuturan penulisan seperti novel, seorang peserta bedah buku sempat menanyakan apakah 'Temanku, Teroris?' sesungguhnya adalah buku atau novel. Huda menjelaskan bahwa ini merupakan novel jurnalistik yang didasari pada fakta dan data yang ia temukan. Dan untuk menemukan fakta dan data ini, bukanlah perkara mudah, butuh dedikasi dan keseriusan yang sangat tinggi.

"Saya akui untuk mendapatkan data-data dan fakta-fakta ini sangatlah sulit," ujar Huda.
Huda berhasil menemui Mubarok di penjara, menemui para keluarga korban bom, dan menemui keluarga Mubarok. Dia juga harus 'berteman' dengan para Densus 88 Polri dan jenderal-jenderal polisi.

Apa yang dilakukan Huda ini memang berisiko tinggi. Cap 'intelijen' atau 'penjual informasi' mampir kepadanya. Bahkan, dia yang mengenyam pendidikan 6 tahun di pondok yang didirikan Ustad Abu Bakar Ba'asyir itu juga harus melewati tudingan-tudingan miring dari institusi Ngruki itu sendiri.

Dengan buku ini, Huda ingin membeberkan bahwa tidak semua alumni Ngruki memiliki pemahaman yang sama seperti Mubarok atau para tersangka terorisme dalam persoalan jihad. Meski kitab suci yang dibaca sama, yaitu Al Quran, namun perjalanan hidup antara Mubarok dan Noor Huda ternyata berbeda arah. Mubarok berjihad memanggul senjata di Afganistan dan terlibat dalam aksi pengeboman, sedangkan Noor Huda mengambil jalan menjadi jurnalis dan pembicara di forum-forum penting di dalam negeri dan luar negeri.

"Banyak juga alumni Ngruki yang berprofesi sebagai ekonom, PNS, guru, wartawan, politisi, seniman, dan lain-lain," ungkap Huda. Meski kitab suci yang dibaca sama, yaitu Al Quran, namun perjalanan hidup memang bisa berbeda.

Ada sesuatu yang dikritisi Huda mengapa sejumlah alumni Ngruki terlibat dalam aksi-aksi
terorisme. Salah satunya karena kurangnya daya kritis dan cenderung mengadopsi doktrin 'sami'na wa atho'na' (kami mendengar dan kami taat). "Salah satu sebab adalah tidak adanya tradisi critical thinking. Ke depan ini yang harus dibangun," kata Huda.

Lewat buku ini, Huda juga ingin pembaca untuk merenungkan kembali mengenai makna jihad, yang selama ini selalu dianggap oleh kalangan 'jihadis' dengan perang. Bagi Huda yang tetap fasih menyampaikan ayat-ayat Al Quran dan hadits ini, masih banyak cara lain yang dilakukan untuk berjihad dengan cara yang damai.

Dengan buku ini, Huda menjelaskan secara gamblang mengenai dampak nyata dari aksi-aksi terorisme. Salah satu yang diangkat oleh Huda adalah munculnya anak-anak yatim dari korban maupun pelaku terorisme. "Siapa yang mau peduli dengan anak-anak yatim ini," ungkap Huda.

Huda menyampaikan bahan perenungan yang mendalam mengenai kisah dari korban bom Bali, Imawan. Gara-gara bom Bali, Laksmi kehilangan suaminya itu dan anaknya, Alif, menjadi yatim. Lahirnya anak-anak yatim seperti Alif inilah yang dimunculkan Huda dalam bukunya sebagai fakta nyata dari dampak aksi-aksi terorisme dan pengeboman.

Terhadap buku ini, Hendropriyono mengaku sangat takjub. Dia yang memang mencurigai Pondok Ngruki saat menjadi Kepala BIN, akhirnya memiliki pandangan berbeda mengenai Ngruki lewat buku ini. "Buku Noor Huda ini memiliki bobot yang tinggi, baik dari aspek sumber data maupun datanya itu sendiri," puji Hendropriyono.

Dalam acara launching dan bedah buku ini, Huda menegaskan bahwa royalti buku ini bukan untuk dirinya sendiri. "Semua royalti ini akan kami sumbangkan kepada anak-anak yatim akibat terorisme melalui Yayasan Prasasti Perdamaian," kata Huda. Selain membuat buku, Huda juga membuat film dokumenter mengenai kisah ini yang akan diputar di beberapa negara. Pembuatan film ini digarap serius, termasuk melakukan wawancara terhadap pelaku terorisme, termasuk Ali Imron.

Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif memberikan kata pengantar di buku ini. Sejumlah tokoh juga memberikan testimoni. Simak testimoni Riri Riza, seorang sutradara film. "Dengan gaya bercerita seperti film terkenal dari Akira Kuroswa, Rashomon, buku ini menjadi sangat menarik untuk dibaca. Noor Huda juga mengingatkan kita bahwa dalam setiap aksi kekerasan, korban tidak hanya berada di satu pihak." (asy/asy)


Sumber: Detiknews.Com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar