jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Minggu, 31 Mei 2009

Menatap 2014


Sejak hasil quick count pemilu pertama kali keluar, sudah ada yang meminta saya membuat analisa. Meskipun berbagai pertanyaan muncul, tapi muaranya satu: mengapa PKS hanya dapat (sementara ini sekitar) 8% suara?

Hal pertama yang harus diklarifikasi adalah bahwa saya tidak memiliki basis data maupun latar belakang keilmuan yang cukup untuk memberikan analisa yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kedua, saya juga bukan orang yang berwenang dalam menentukan langkah-langkah strategis PKS ke depannya, sehingga tak mungkin bagi saya untuk memberitahukan bagaimana sikap resmi PKS berikutnya. Ketiga dan terakhir, setelah saya pikir-pikir, nampaknya analisa yang ada di otak saya terlalu rumit untuk dituangkan dalam sebuah artikel atau dalam pembicaraan- pembicaraan singkat lagi santai.

Yang lebih penting daripada analisa, hemat saya, adalah memberikan respon yang tepat terhadap semua fenomena. Penting sekali bagi setiap muslim untuk terus mengingatkan dirinya bahwa hidup ini cuma aksi-reaksi. Allah SWT. sebagai pemberi aksi, dan kita dituntut untuk memberikan reaksi yang tepat. Bocorannya sudah diberikan sejak dahulu kala. Rasulullah SAW. pernah menjelaskan bahwa hanya ada dua hal yang menyebabkan kehidupan seorang Muslim begitu luar biasa, yaitu: sabar dan syukur. Respon yang perlu kita berikan tidak akan keluar dari yang dua ini.

Prinsip pertama yang harus dipegang adalah berprasangka baik kepada Allah SWT. Semua kehendak-Nya pasti terlaksana, dan tak ada satu pun ciptaan-Nya yang tanpa hikmah, baik berupa material maupun fenomena. Tapi tak cukup berhenti sampai titik itu. Kita pun wajib meyakini bahwa skenario yang dipilih oleh Allah adalah yang terbaik. Perbedaan dari evaluasi yang benar dengan menyesali nasib adalah pada perilaku berandai-andai. Sebenarnya akal manusia tidak punya kemampuan untuk menyusun skenario kehidupan, karena begitu banyaknya variabel yang terlibat.


Maka, pandanglah angka 8% itu dengan perasaan dekat dengan Allah. Jika hati merasa berat, maka bersabarlah. Kemudian cobalah tinjau fenomena ini dari berbagai perspektif yang akan membuat kita untuk mudah bersyukur.

Kenaikan dukungan dari 1,5% pada Pemilu 1999 menjadi 7,5% pada Pemilu 2004 tidak hanya ditanggapi dengan gegap gempita, namun ada juga sisi bahayanya. Kita sudah sama-sama mengalami tahapan ketika dakwah harus dilaksanakan seperti petak umpet dengan rejim penguasa. Kita juga mengalami tahapan ketika para da'i merasa gamang diterjunkan ke kancah politik. Kemudian, barangkali tempo hari adalah masa-masanya kita mencicipi euforia ketika dukungan dari masyarakat berlipat ganda dan PKS
menjadi parpol yang sangat diperhitungkan. Namun pada saat yang bersamaan, ketika jatah kursi di DPR berlipat ganda, maka waktu pendewasaan diri bagi para kader pun disingkat hingga berkali-kali pula.

Pembagian tugas adalah sebuah keniscayaan. Ada yang harus duduk di Majelis Syuro, ada yang mesti menerima amanah di Dewan Syariah, ada yang 'terpaksa' menjadi pengurus DPP, DPW, DPD, DPC, hingga ke DPRa. Di luar jabatan struktural itu, ada juga yang mesti menjalani kaderisasi sebagai mutarabbi, ada pula yang menjadi murabbi (sekaligus mutarabbi juga, karena tarbiyah tidak mengenal kata 'lulus'). Kenaikan suara yang signifikan tentunya memaksa kader untuk mengambil tanggung jawab yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Nampaknya, tidak semua kader siap.

Ini titik kekuatan sekaligus tantangan besar bagi PKS. PAN dan PMB, yang memiliki background Muhammadiyah, misalnya, punya sumber daya manusia yang sangat besar. Demikian pula PKB dan PKNU, mereka punya basis dengan SDM yang sangat masif. Di partai-partai lain, kadang kita temukan juga 'kader karbitan', yang pindah dari parpol satu ke parpol lainnya, lalu tiba-tiba menerima jabatan yang cukup tinggi. Politik uang atau apa, entahlah. Yang jelas, hal yang semacam ini sangat tidak disukai di PKS yang murni partai kader dengan jenjang kaderisasi yang sangat jelas.

Ketika dukungan naik menjadi 7,5%, tentunya tidak seluruhnya dari 7,5% itu merupakan kader. Banyak juga yang simpatisan; tidak terlibat di struktur PKS namun mendukung perjuangan PKS (dan tentunya, insya Allah memilih PKS). Jika angka 1,5% pada Pemilu 1999 cukup mendekati prosentase jumlah kader diantara keseluruhan masyarakat Indonesia, maka angka 7,5% pada Pemilu 2004 bergerak semakin jauh dari realita jumlah kader. Andaikan perbandingan kader dan simpatisan adalah 50:50, maka itu berarti hanya setengah dari 7,5% perolehan suara tersebut yang merupakan mesin politik PKS.

Target suara 20% dalam Pemilu 2009 juga mesti dilihat dari dua sisi. Tentu tidak ada salahnya mematok harapan setinggi langit, namun harus siap juga menghadapi kewajiban-kewajiban yang datang beserta cita-cita itu. Andaikan angka 20% benar-benar berhasil ditembus, itu artinya dukungan suara untuk PKS kembali berlipat ganda hingga nyaris tiga kali lipat. Kalau benar-benar mendapat 20% suara, bagaimanakah perbandingan antara kader dan simpatisan? Seberapa siapkah mesin politik PKS untuk mengelola tanggung jawab sebesar itu?

Kalau sudah bisa menerima angka 8% dengan hati lapang (baca: bersabar), tibalah gilirannya untuk bersyukur. Pandanglah angka 8% sebagai tanda cinta Allah kepada jalan dakwah ini. Segala puji bagi Allah yang tidak menuntut hamba-hamba- Nya untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya. Kita punya waktu lima tahun lagi untuk membenahi apa-apa yang belum sempat kita benahi lima tahun ke belakang. Segala yang kendur bisa dikencangkan, yang lalai bisa dikoreksi, sementara mendewasakan diri untuk menerima tanggung jawab di marhalah dakwah berikutnya. Kita tidak perlu memaksa diri mengambil tanggung jawab 'level 20%' jika posisinya masih di 'level 8%'.

Keadilan Untuk PKS


Menjelang Hari-H Pemilu 2009 kemarin, iklim perdebatan di kalangan umat Islam mencapai puncaknya. Dari wacana golput atau tidak golput, beralih pada topik kekecewaan terhadap parpol-parpol Islam, dan biasanya berujung pada kritik pedas terhadap PKS. PKS tidak seperti Al-Ikhwan Al-Muslimun lah, PKS tidak seperti Masyumi lah, PKS tidak seperti PK lah, dan seterusnya.

Nampaknya memang sikap paling bijak dalam menyikapi debat kusir adalah meninggalkannya. Kita semua (termasuk saya) harus belajar untuk mengimani sungguh-sungguh petuah Rasulullah tentang hal ini. Pada akhirnya, debat kusir hanya mencederai ego masing-masing. Yang salah akan mencari pembenaran, dan yang benar akan menghadapi resiko sombong (ingat, yang sombong takkan masuk surga!). Kalau atmosfernya sudah dipenuhi keinginan untuk saling menjatuhkan, itulah saatnya untuk mundur.

Sebagian orang 'menyerang' PKS simply karena memang tidak suka. Akibatnya, setiap isu negatif soal PKS akan langsung dicerna, bahkan disebarluaskan ke milis-milis. Asalkan berita tentang PKS itu buruk, mereka akan langsung percaya tanpa mengecek sanad-nya. Kadang-kadang berita semacam itu mereka ambil dengan mudahnya dari media-media sekuler yang jelas-jelas memusuhi Islam, bahkan mereka pun pernah membicarakan tentang keberpihakan media-media tersebut kepada kekuatan anti-Islam. Untuk berita yang lain, mereka mau tabayyun. Untuk berita soal PKS, lain lagi hukumnya. Kalau mau direpotkan oleh yang seperti begini, maka waktu 24 jam sehari akan habis begitu saja. Yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah mendesain rencana ke depannya untuk menangkis berita-berita tidak benar tentang PKS.

PKS memang seringkali diperlakukan tidak adil oleh sebagian pihak. Kalau melihat fenomena parpol-parpol Islam yang sulit bersatu, tiba-tiba semua pandangan diarahkan ke PKS, seolah-olah PKS-lah biang kerok tidak terwujudnya persatuan tersebut. Kemudian jika ada satu saja keburukan PKS, maka orang akan bersikap seolah-olah PKS adalah yang paling buruk dari semua parpol, bahkan yang paling buruk diantara semua parpol.

Banyak orang menyindir PKS karena menunjukkan keinginan untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat. Menurut mereka, PKS hanya akan dimanfaatkan saja oleh kekuatan sekuler di partai itu. Tapi ketika PKS menunjukkan sikap tegasnya belakangan ini (yaitu untuk menimbang ulang koalisi jika Partai Golkar ikut-ikutan dalam koalisi), nyaris tak ada yang mau memberikan apresiasinya. Padahal, sikap tegas ini menunjukkan bahwa PKS pun siap menunjukkan integritasnya untuk kepentingan umat. "Sungguh, umat terdahulu ada yang digergaji kepalanya dan disisir oleh sisir besi, namun mereka tidak mundur dari agamanya. Sungguh, demi Allah, urusan ini akan disempurnakan kelak. Akan tetapi kalian terlalu terburu-buru." Begitulah penggalan nasihat Rasulullah saw. kepada umatnya yang kurang bersabar. Ingin berlagak raksasa padahal masih kelas liliput.

PKS memang banyak kekurangan, namun tidak jarang juga difitnah. Dari sekian banyak berita bohong yang disebarluaskan itu, berapakah yang dikembalikan dengan sebuah permintaan maaf? Sepanjang pengamatan saya di berbagai milis, belum ada. Mereka yang menebar berita bohong tentang PKS sama sekali enggan meminta maaf meskipun beritanya sudah terbukti bohong. Insiden memalukan yang kerap terjadi ini semestinya tidak membuat hati kita susah. Jelaslah bahwa diskusi yang sehat dengan oknum-oknum semacam ini sudah nyaris tak mungkin terjadi, karena egonya sudah mendahului akal dan moralnya. Jika mereka tak sanggup bersikap adil, barangkali memang kitalah yang ditakdirkan untuk menjadi orang yang lebih besar hatinya.

Melarikan Diri?


Beredar pula sugesti-sugesti negatif. "Dulu saya aktif di PK. Sekarang, saya sudah muak. PKS tidak sama dengan PK. Militansinya jauh beda. Kualitas kader menurun jauh. Buat apa saya habiskan waktu dengan jamaah yang seperti ini?"

Buang waktu atau tidak, itu sepenuhnya keputusan dirinya sendiri. Jika memang tidak mampu lagi mengambil manfaat, maka itu adalah kelemahan dirinya sendiri. Hampir semua orang yang menyatakan dirinya 'mantan aktifis PK/PKS yang kecewa berat' tidak mau (atau tidak mampu) membuktikan klaimnya. Ada beberapa orang yang saya kenal dengan karakter seperti itu, namun ternyata ia bukan aktifis dimana-mana. Aktifisme yang dibangga-banggakann ya di masa lalu itu cuma sebatas halaqah pekanan dan beberapa kepanitiaan saja, itu pun statusnya cuma 'bantu-bantu' , bukan Ketua Panitia atau apalah. Sama dungunya seperti pernyataan Arbania Fitriani yang konon 'membongkar rahasia PKS' sebagai parpol yang hendak menyebarluaskan kultur Arab di Indonesia.

Para pengkhianat takkan pernah jadi kader yang baik. Komprador akan dipandang rendah, baik di negerinya sendiri maupun di negeri penyandang dananya. Paling tinggi, ia hanya akan jadi alat bagi orang lain.

Dalam pandangan saya, orang yang melarikan diri dari jamaah (jamaah apa pun, asalkan masih dalam tubuh umat Islam) ketika ia menjumpai kekurangan di dalamnya, sebenarnya telah memelihara sikap khianat dalam dirinya. Yang seperti ini takkan pernah puas, karena jamaah impiannya (yaitu jamaah yang sempurna tanpa cela) takkan pernah eksis. Lagipula, sikap mental meninggalkan kelompok yang butuh bimbingan bukanlah modal yang baik bagi seorang da'i (ingat kisah Nabi Yunus 'Alaihissalam?). Meskipun
ilmu agamanya selangit, namun jika masih terus-terusan menjadi barisan sakit hati, pasti bukan da'i namanya, dan pasti bukan dakwah kerjanya.

Mau kecewa sampai kapan? Mereka yang gampang memisahkan diri dari jamaah biasanya hanya jadi penggembira dan pengamat, bukan pekerja yang sesungguhnya. Paling banter hanya akan jadi Khawarij umat ini, dan bukannya Bilal ra. yang memompa semangat di Perang Badar, atau pasukan pemanah yang tidak ikut silau matanya dengan harta rampasan di Perang Uhud. Lucu juga membayangkan apa jadinya jika pasukan pemanah pada Perang Uhud itu terbagi dua: kelompok yang pertama lari menyongsong harta rampasan, kelompok yang kedua diam di posnya masing-masing kemudian kecewa dengan jamaah dan pergi meninggalkan medan perang. Di medan perang manapun, mereka yang pergi meninggalkan teman-temannya ketika tenaganya justru sangat dibutuhkan tidak akan pernah dicatat dalam sejarah.

Seorang pembawa acara di sebuah stasiun televisi swasta nampak kebingungan ketika Ust. Hidayat Nur Wahid menceritakan sekelumit sejarah di balik berdirinya PK. Banyak orang tak menyangka bahwa dulunya beliau termasuk kelompok yang tidak setuju didirikannya parpol. Namun beliau tunduk pada syura', memahami resiko dari pilihan yang diambil, dan konsisten bersama jamaah ini, menghadapi senang dan susahnya. Siapakah yang namanya lebih besar, Ust. Hidayat ataukah barisan sakit hati yang hanya bersama kita di saat senang?

Bersabarlah, dan bersyukurlah. Jalan masih panjang.

Oleh: Akmal Sjafril*)


*) Penulis adalah mahasiswa Program Pasca Sarjana, Magister Pendidikan dan Pemikiran Islam, Universitas Ibnu Khaldun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar