jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Senin, 04 Juli 2011

At Ta’shil At Tarbawi

Sering sekali kita mempertentangkan antara ta’shil (upaya kembali kepada ashalah atau keorisinilan) dengan tathwir (upaya pengembangan). Seakan dua hal itu adalah dua kutub yang selalu bersebarangan dan berlawanan. Hal ini terjadi dalam segala hal; dalam masalah makanan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kebudayaan, dan lain sebagainya.

Dalam tataran da’wah dan tarbiyah, pertentangan dua hal itu seringkali juga terbawa-bawa. Bahkan terkadang membentuk dua arus yang saling berhadapan, istilah arabnyawajhani mu-tadhaddzani (dua wajah saling berhadapan). Repotnya lagi terkadang hal ini berdampak kepada munculnya dua kubu yang tidak bisa bertemu. Kubu pengusung panji ashalah dan kubu pendukung tathawwur. Lebih berbahaya lagi kalau masing-masing kubu itu berusaha membangun jaringan pengikut fanatik, dan masing-masing pihak mengklaim bahwa dirinyalah yang berada dalam pihak kebenaran, sementara pihak satunya telah berada pada kesalahan. Pendukung panji ashalah mengatakan bahwa para pendukung tathawwur adalah orang-orang yang telah inhiraf (menyimpang) dari al khath al mustaqim (garis lurus dan istiqamah). Sehingga tidak layak mereka membangun jaringan pengikut, pendukung dan klaim tarbiyah dan da’wah. Sementara kubu tathawwur mengatakan bahwa para pengusung panji ashalah adalah orang-orang yang jumud (kaku) dan tidak bisa muwakabatuz-zaman (mengikuti perkembangan zaman), apa-lagi men-saitharah-inya (menguasainya).

Kasus seperti ini telah benar-benar terjadi di salah satu negeri muslim, dan bisa saja terjadi di negeri-negeri lainnya, jika tidak segera diambil langkah-langkah antisipasi, baik dalam tataran tashawwurat (persepsi), mafhum (konsepsi), dan khuthuwat ‘amaliyah (langkah-langkah operasional).

Kalau begitu, bagaimana sih sebenarnya duduk perkara, atau meminjam istilah ‘ulama’ fiqih asbabul khilaf (penyebab perbedaannya)?

Jika kita telah mampu mendudukkan dua tadi secara tepat, insyaallah wa bi-idznihi, pertentangan seperti itu tidak akan terjadi, insyaallah. Atau minimal kita bisa meminimalisir wilayah dan dampak-dampak negatifnya.

Ikhwati fillah …

Hubungan antara ashalah dan tathawwur ibarat hubungan antara tahu dan cara meyuguhkan tahu itu kepada konsumen.

Suatu kali saya bertemu dengan salah seorang ikhwah. Dia bercerita bahwa baru saja ia mengkritik istrinya. “Mi, kenapa sih lauk kita dari hari ke hari tahu, tempe dan ini-ini saja?” kata seorang ikhwah tadi kepada istrinya.

Mendapat kritikan tajam begini, sang istri pun tidak mau mengalah. “Habis, uang belanja yang abi berikan cuman segini-gini saja, coba abi kasih yang agak besaran dikit, kita bisa gonta-ganti menu”. Jawaban sang istri tidak kalah serunya.

“Kalau begitu, gini aja deh mi, boleh ummi tetap konsisten dengan menu yang hanya tempe tahu saja, karena memang hanya inilah -sampai saat ini- kesanggupan abi, tapi kan bisa saja bentuknya, modelnya, cara mengolahnya, dan menampilkannya dan semacamnya bisa ummi rubah!”.

Mendengar tanggapan balik suaminya, sang istri mikir-mimir juga. “betul juga kata suami”, katanya dalam hati.

Sang suamipun segera pergi dari rumah untuk melakukan tugas ibadah mu’amalah-nya.

Sang istri yang di rumah, pusing juga memikirkan bagaimana cara menampilkan dan mengolah tempe tahu dalam format-nya yang baru. Setelah lama memeras otak, ketemu juga satu ide yang layak dicoba.

“Ini tahu bentuk aslinya segi empat, gimana kalau saya rubah agar bentuknya menjadi bulat kayak telur”. Katanya dalam hati. “Terus gimana caranya ya?”. “Oh ya, bisa saja tahu ini saya blender, lalu saya campur dengan sedikit telur, lalu bentuknya saya rubah menjadi bulat”.


“OK, kenapa tidak dicoba, biar suami tambah kesengsem sama yang di rumah (maksudnya sama makanan dalam format baru ini, tentunya sama yang membuat juga, he he)”. Kata sang istri dalam hati.

Fikrah-pun segera berubah menjadi harakah, ambil tahu, ambil blender, masukkan tahu ke blender, colokkan ke listrik, dan weeerrr, harakah-pun beranjak ke tanfidz.

Siangnya, saat sang suami pulang untuk menyantap makan siang, iapun senyum-senyum simpul mengacungkan jempol di hadapan istrinya atas fikrah-nya yang brilian, dan yang tentunya telah beranjak kepada harakah dan tanfidz, dengan husnul ada’ (kualitas pelaksanaan yang prima). “Ini nih baru OK punya”, kata sang suami kepada sang istri.

Gambaran cerita di atas menujukkan bahwa ashalah sebenarnya membutuhkantathawwur agar mampu mengikuti perkembangan zaman, dan tathawwur tidak boleh ngawur, akan tetapi harus berangkat dari ashalah agar tetap berada pada ash-shirath al mustaqim.

Dalam contoh kasus tahu tadi, tahu dengan segala komponennya, bisa kita anggap sebagai cermin ashalah, sedangkan cara mengolah, cara menyuguhkan, bentuk, dan sebagainya, bisa kita istilahkan sebagai refleksi dari tathawwur.

Wallohu A’lam.

Sumber: Berita PKS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar