jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Minggu, 08 November 2009

Setelah Kader PKS Masuk Kabinet

Sorang politisi masuk ke ruang sidang parlemen yang akan membahas suatu isu penting, sebut saja Kebijakan A. Ia menenteng dua bundel dokumen dengan ketebalan yang hampir sama. Ketika ditanya wartawan tentang isi kedua bundel dokumen itu, ia menjawab: "Bundel yang ada di tangan kanan saya ini berisi data serta argumen yang tak terbantahkan untuk mendukung Kebijakan A."

"Lalu apa isi bundle yang ada di tangan kiri Anda?"

"Bundel ini berisi data dan argumen yang tak terbantahkan pula untuk menentang Kebijakan A, bila pihak lawan mendukung kebijakan itu."


Inilah salah satu di antara ribuan anekdot tentang politik dan politisi. Anekdot ini mendekati kenyataan yang terjadi di dunia politik modern. Platform sebenarnya nyaris tak pernah eksis. Yang ada hanyalah pilihan-pilihan politik atas suatu isu, yang tentu saja harus berbeda dengan pilihan yang diambil kelompok lawan. Pilihan yang berbeda ini adalah sebuah keharusan, karena politik adalah kompetisi. Mengambil pilihan yang sama dengan pihak lawan bagi seorang politisi atau sebuah kekuatan politik berarti menghilangkan kompetisi itu, dan lebih celaka lagi, bisa membuat ia kehilangan popularitas, karena dianggap sekedar mengekor.

Setelah pilihan dibuat, pekerjaan selanjutnya adalah menyusun argumen untuk mendukung pilihan itu. Ini tak sulit bagi politisi. Data statistik, rujukan kepustakaan, pendapat pakar, bisa dikerahkan untuk keperluan itu. Kemenangan bukan ditentukan oleh substansi persoalan, tapi oleh kepiawaian mengolah semua itu menjadi sesuatu yang memukau.

Inilah situasi yang mungkin akan dihadapi oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pasca pelantikan presiden baru. Seperti kita ketahui, ada tiga kader PKS yang duduk dalam Kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpin oleh Presiden Yudhoyono. Dalam tradisi politik Indonesia, terutama pasca Orde Baru, pemilihan menteri adalah sarana berbagi kekuasaan yang paling gampang terlihat. Ini berarti bahwa PKS sudah melibatkan diri secara utuh pada kekuasaan eksekutif.

Situasi ini tentu punya sisi menguntungkan sekaligus merugikan bagi masa depan PKS, terutama bagi kepentingan jangka pendek menghadapi pemilihan umum tahun 2009. Untung atau ruginya PKS atas keterlibatannya di kekuasaan eksekutif ini sangat tergantung pada kinerja cabinet secara keseluruhan. Bila kabinet sukses, maka PKS adalah bagian dari kesuksesan itu, dan sebaliknya.


"Lantas, bagaimana dengan sikap PKS berkaitan dengan komitmennya untuk berjuang di parlemen, yang didengungkan pasca pemilihan umum legislatif dulu? Apakah dengan keterlibatan PKS pada pemerintahan eksekutif lantas berarti PKS akan berada pada posisi membela pemerintah dalam situasi apapun dengan argument yang dicari-cari seperti digambarkan dalam anekdot di atas?"
Menarik untuk diperhatikan bahwa koalisi adalah tradisi yang relatif baru dalam politik kita. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid serta Megawati, koalisi baru berhenti pada bagi-bagi jatah posisi menteri, tak lebih dari itu. Kader-kader partai tak lagi membawa aspirasi atau platform partainya dalam kabinet. Ini karena partai memang tak pernah punya platform, dan koalisi memang tak pernah didasarkan atas platform.

Koalisi yang dibangun oleh pemerintah baru sekarang ini juga belum beranjak jauh dari hal itu. Meski ada beberapa poin yang diajukan PKS sebagai syarat dukungan kepada Yudhoyono pada pemilihan presiden tahap ke dua, syarat-syarat itu masih terlalu sederhana untuk disebut platform. Karenanya pertanyaan-pertanyaan tadi sangat relevan bagi pengurus PKS di awal masa kerja pemerintahan eksekutif ini.

Menurut hemat saya, PKS perlu membebaskan diri dari beban psikologis akibat duduknya kader partai itu dalam kabinet. Kehadiran kader PKS di kabinet tidak perlu dianggap sebagai balas jasa atas dukuang PKS dalam pemilihan presiden. Sebaliknya, kehadiran mereka justru harus dianggap sebagai dukungan untuk menyukseskan kerja presiden. Karenanya PKS harus punya keberanian untuk menarik kadernya dari kabinet bila arah kerja kabinet tak lagi sesuai dengan platform PKS.

Bila beban psikologis ini bisa dilepaskan, maka PKS bisa bersikap konsisten dengan platform serta program yang dijanjikannya kepada pemilih pada kampanye pemilihan umum yang lalu. Artinya PKS bisa saja berada pada posisi yang berseberangan dengan pemerintah ketika pemerintah berdiri pada posisi yang bertentangan dengan platform PKS. Kalau ini bisa dilakukan, maka PKS bisa dengan mudah membebaskan diri dari citra kegagalan, kalau kabinet sekarang ini gagal mengemban amanat rakyat.

Perlu diingat bahwa citra PKS sebenarnya akan sangat ditentukan oleh ribuan kadernya di lembaga perwakilan di pusat dan daerah. Jadi bukan melulu oleh segelintir kadernya di kabinet. Maka perjuangan PKS ke depan adalah mewujudkan ide-ide yang tertuang pada platformnya menjadi aktivitas nyata dalam kehidupan bernegara. Isu sentralnya tentu saja pemberantasan korupsi dan penegakan pemerintahan yang bersih, yang merupakan trade mark PKS.

Selamat berjuang.


Oleh: Dr. Hasanudin, dosen Universitas Tanjungpura, Pontianak
Sumber: PIP-PKS Jepang

1 komentar:

  1. Selamat berjuang ikhwah fillah. Jagalah partai dakwah ini agar tetap bersih, peduli, dan profesional

    BalasHapus