![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUhjpaEeiQETc9iO8-TeCB8YpI3cVOBk3hjPIwIL_yrx5kOL0444F41Bx-dIpN7lxK6-wUmP0DmFZGMR4yJ2LmkAw8iLXL8xPsup6P9DdX7dd36tvBDDdsJJ3AOQDOxJ5cNfGhnHtozgW7/s200/sby-Boedi.jpg)
Liputan6.com, Jakarta. Partai Keadilan Sejahtera sempat mengancam akan keluar dari koalisi Demokrat karena Susilo Bambang Yudhoyono memilih Boediono sebagai calon wakil presiden. Namun, PKS mengubah sikapnya. Mereka akhirnya menerima tokoh yang sempat dituding berpaham ekonomi neoliberalisme itu sebagai cawapres mendampingi SBY.
PKS merupakan partai kader yang tak pernah bertumpu pada ketokohan figur pemimpinnya. Mereka lebih memilih menggaet dukungan besar, khususnya dari kaum muda kota. Terbukti, partai ini melejit pada Pemilu 2004 dengan 7,34 persen suara. Angka itu jauh dari Pemilu 1999 yaitu 1,36 persen suara.
Kestabilan suara partai berlandaskan Islam ini membuatnya makin percaya diri pada Pemilu 2009. Mereka masuk dalam urutan partai besar. PKS lantas memilih Partai Demokrat sebagai rekan koalisinya. Sejumlah nama pendamping SBY ke kursi kepresidenan pun diusulkannya. Mereka adalah Hidayat Nurwahid, Tifatul Sembiring, dan Salim Segaf Al-Jufri yang menjadi Duta Besar RI di Arab Saudi.
Ternyata SBY punya pilihan lain, Boediono. PKS pun meradang dan menganggap Boediono tidak mewakili umat. Apalagi cara komunikasi Partai Demokrat yang mengabarkan penunjukan Boediono hanya lewat layanan pesan pendek atau SMS. Hal ini membuat PKS makin berang. Mereka lantas melempar wacana pecah kongsi dengan Demokrat serta pengalihan koalisi ke kubu lain guna membangun poros alternatif.
Namun, itu hanyalah gertakan. Petinggi PKS kemudian bertemu SBY di sebuah hotel di Bandung, Jawa Barat. Sang presiden dan sekjen PKS lantas terlihat hadir pada deklarasi pasangan SBY-Boediono. Mereka bahkan menandatangani kesepakatan berkoalisi di kediaman SBY. Bisa jadi, sejumlah kursi telah ditawarkan pada PKS hingga mereka menerima Boediono sebagai cawapres.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar